Jumat pagi-menuju siang di tahun 2020, di tepi sungai dengan air yang melaju menuju hilirnya. Arunika telah merasakan lelah yang sangat, lelah yang ia rasakan dalam menghadapi perjalanan kehidupannya, sebuah fase menuju ujian kehidupan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Aliran sungai yang membawa banyak sekali keputusasaan orang-orang di hulu sana, membawa sisa-sisa kebahagiaan ataupun kenangan yang mengalir dengan sendirinya, di tepi aliran sungai itu pula Arunika terduduk di sebelah seorang yang tidak disangka masih menepati janjinya untuk menemani fase hidup Arunika. Namanya Budi, kau pasti sudah mengenalnya dengan sangat. Budi adalah seorang yang hidup di skenario kehidupan Arunika, mungkin juga hingga saat tulisan ini diterbitkan, Budi masih ada untuk Arunika, entah raga, pikiran, perasaan atau bahkan doa paling tulus. Tepat satu minggu sebelum menuju fase tersebut, Arunika dengan terpaksa menghubungi Budi untuk meminta menemaninya, bukan karena Arunika tak menginginkan
Bintang Jatuh Bagaimana? Pertanyaan yang sering timbul di dalam angan dan pikiran, namun tak pernah terungkap sama sekali di bibir ini. Arunika sudah melangkah jauh sendirian, hanya diiringi angin yang entah membawa kabar dari mana saja, kecuali kabarnya. Bagaimana rasanya hidup tanpa mengetahui tujuan yang sebenar-benarnya? Bagaimana hidup di dalam bahagia yang tak sempurna? Disaat mencapai puncak tertinggi, jutaan selamat tidak utuh jika bukan selamat itu. Disaat mendarat di ngarai terdalam, jutaan semangat takkan membangkitkan jika bukan semangat itu. Bagaimana kabarnya? Budi. Sudah terhitung, 6 tahun lamanya Arunika mengenal Budi. Selama itu pula ternyata, Arunika menyadari bahwa perasaannya pada Budi tidak menemukan kata punah. Budi tetap menjadi sosok yang hadir di kala Arunika terpuruk atau ketika Arunika berada di langit tertinggi. Tahun lalu, Arunika lepaskan Budi agar ia dapat mengepakkan sayapnya ke langit favoritnya, untuk bertemu senja atau bersua dengan bintang jatuh. B