Akhir juni dengan hujan yang selalu
datang tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Setelah 2 tahun berlalu, Budi kembali ke
Indonesia. Arunika mendengar kabar dari teman-temannya bahwa Budi jatuh sakit.
Ya, sakit yang sebenarnya hanya sedikit menggerogoti fisiknya, tetapi dengan
hampir utuh merusak pikiran Budi. Arunika, bukan tak tahu itu, perasaannya
cukup lekat untuk Budi, ia tahu, meskipun dengan jarak yang sudah mereka ulur
sehingga hanya takdir Tuhan yang dapat membuat pertemuan menjadi nyata. Arunika
masih menjadi manusia yang mengetahui Budi, dengan tidak mendengar dari
siapapun, tapi mendengar dari dirinya sendiri, dari hati terdalamnya.
Pertemuan ialah hal yang paling dibenci
Arunika, sebab dengan pertemuan, ia dapat membaca Budi dengan sangat utuh.
Budi, sedang tidak baik-baik saja. Arunika masih dengan keras hati menganggap
tak tahu apapun tentang Budi. Hingga tak ada satupun kuasa manusia dapat
menahannya ketika Tuhan sedang ingin mengambil alih. Bisa ditebak, Arunika dan
Budi kembali dipertemukan dengan hal-hal yang mereka tanam sejak mereka
merintis. Mereka kembali saling berkomunikasi dan berbincang, hingga suatu
malam, Budi menceritakan tentang dirinya dan sakit yang ia telan sendiri.
Arunika masihlah menjadi manusia yang tak sanggup melihat Budi bersedih. Mereka
kembali menjadi dua orang yang tak memerdulikan dunia ketika berkisah, Budi
melepaskan segala beban yang sejauh ini ia telan sendiri, meski ia mengaku
sudah mencintai manusia lain di belahan bumi sana. Meski lagi, Arunika adalah
sosok yang mampu membaca Budi, ia tahu Budi pun masih mencintainya dengan
sangat meskipun tidak akan pernah terucapkan. Ternyata, tahun berlalu, mereka
takkan pernah menemukan kata asing.
Arunika sudah tidak berada di KPP,
sedang Budi juga begitu, tapi dengan sebuah projek tentang remake video klip
lagu Fiersa Besari dan Prisa Mandagie yaitu Melawan Hati. Mereka kembali
dipertemukan, Arunika menjadi penulis skrip dan Budi menjadi pembaca puisi.
Kegiatan itu berlangsung di sebuah hutan konservasi di daerah Bandung. Meskipun
tugas mereka sebenarnya di balik layar, mereka juga harus melihat proses
syuting dan pastinya hitung-hitung merasakan liburan.
Akhir juni, ya memang di akhir juni.
Hari itu panas cukup terik. Arunika terbaring di hammock biru tua sembari
mendengarkan suara alam. Syuting berlum berlangsung, ia dapat bersantai sembari
mendengarkan lagu dari handphone-nya, tak ada sinyal disana, cukup untuk
Arunika meredam lelah dari hiruk pikuk kota. Tak lama Budi datang dengan handuk
hijau daun melilit kepalanya, tawa Arunika pecah ketika melihat pemandangan
unik itu. “Sudah tidak ada lagi malumu, Bud. Kau bilang steady jam 13:00, ini
kau bilang steady?”. Arunika menghela napas, Budi kembali menghilang di balik
pepohonan. Arunika masuk ke dalam penginapan, berberes dan tak lupa menambah
lipstik di bibirnya. Ia kembali ke lokasi dimana hammock digantung, ia melihat
Budi sudah rapi dengan stelan hitamnya. “Yuk, hunting fotonya”, ujar Budi
sembari berdiri mendekati Arunika. “Tapi, hanya satu jam saja ya, aku mau tidur
siang”, tambah Budi sembari merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi.
Hutan memang tempat terbaik untuk healing, mereka berjalan di rentetan
kayu ulin yang tersusun rapi menjadi sebuah jembatan. Jembatan tersebut tidak
sama sekali mengganggu pepohonan di kanan-kirinya, pohon yang tumbuh di tepian
jembatan pun dijaga dengan sebaik-baiknya, karena tak ada satupun ditebang,
pembuat jembatan memotong bagian jembatan yang menganggu pohon di sebelahnya.
Jembatan itu mungkin membentang sepanjang 250 meter, tapi bagi Budi dan
Arunika, jembatan itu akan mereka buat sepanjang mungkin. Ya, sepanjang mereka
dapat memotret keindahan disana, tak terkecuali kantong semar yang tumbuh indah
di akar-akar pohon. Budi masih saja jadi manusia yang selalu mengabulkan
permintaan Arunika, apapun itu, termasuk memotretnya meskipun Budi sangat payah
dalam memotret.
Sekian menit berlalu hingga mencapai
ujung jembatan, mereka melalui lapangan besar dengan beberapa tenda tercacak di
tanahnya. Rupanya ini camp tempat orang-orang yang ingin menghilangkan penat.
Arunika duduk sebentar di kursi kayu sembari memandang luas ke lahan gersang,
yang katanya kelak akan ditanami pepohonan. Budi tak mau berlama-lama disana,
ia berjalan ke pohon asam dengan buah yang sangat melimpah. Tapi tak ada
satupun yang gugur dengan baik. Arunika mendekati Budi, mereka melanjutkan
perjalanan tersebut hingga tampak sebuah danau yang cukup luas. Danau itu
berada ditepi hutan yang tampak sangat asri. Ada sebuah rakit dari papan dengan
tong biru sebagai pelampungnya. Dua sampan usang yang berada di tanah tepi
danau, terlihat sangat tenang dengan sunyi dan sepi yang memeluk danau
tersebut. Mereka bedua mendekati danau itu sembari takjub, airnya berwarna
hijau kecoklatan tampak ratusan bahkan ribuan ikan nila yang berenang mendekati
daratan tempat mereka berpijak. Panas terik tak menghalangi sesi potret
memotret, Arunika adalah pemotret yang cukup baik apalagi jika mempelajari hal
tersebut dengan telaten, ia mampu melihat angel bagus untuk di potret.
Hari kian terik, sudah pukul 14:00
ternyata. Arunika duduk di sampan kayu yang telah retak dan bolong dimana-mana.
Ada dedaunan gugur di dalamnya. Ia melepaskan penat, ternyata berjalan-jalan
saja cukup membuat tubuh terasa lelah. Mereka berdua tidak membawa air minum,
meskipun tidak merasa dahaga terlalu dalam. Arunika memotret menggunakan
handphon-nya. Budi juga sibuk dengan handphone yang kameranya mengarah ke
Arunika, ia selalu bergaya untuk memotret berharap mendapat hasil baik meskipun
endingnya hasil tersebut kurang memuaskan. Arunika meletakkan sandalnya,
menaruh handphone di sampan yang usang itu, dan berjalan ke tanggul danau. Ia
melihat ikan yang mengikuti langkahnya, Budi pun meletakkan tas dan jaketnya di
sampan usang itu, sembari mengikuti langkah Arunika, dengan kamera handphone
yang masih mengarah pada Arunika. Arunika melihat danau itu kembali, dan ia
teringat akan batu yang dapat memantul jika dilempar ke danau, ia bertanya pada
Budi. “Bud, aku pernah melihat di film, jika kita melempar batu ke air, batu
itu dapat memantul beberapa kali sebelum tenggelam. Apa iya?”. Tanpa menjawab
apapun, Budi mengambil batu dan langsung melemparnya ke danau, batu itu
memantul sebanyak 3 kali lalu tenggelam. Arunika berdecak kagum sembari memandangi
wajah Budi. Ia bahagia saat itu, sejenak lepas segala masalah dan beban yang
ada, Arunika mencoba melempar batu berkali-kali, sampai tangannya pegal, Budi
hanya tertawa melihat tingkah Arunika. Mereka sejenak menjadi dua insan yang
lupa akan masalah dunia yang sangat memusingkan, tempat tersebut ibarat surga
yang sangat indah dan menenangkan.
Arunika menyerah saat melempar batu yang
cukup besar ke dalam danau. Ia berjalan mendekati sampan satunya yang ternyata
adalah speed. Keduanya sama-sama
usang. Arunika duduk di haluan, memandangi danau dan ikan yang bergerombolan
mendekati mereka. Budi duduk di tangga belian yang dasarnya ada di dalam danau,
ia mencuci kaki, muka dan lengannya. Selepas itu Arunika duduk di tangga
tersebut, ia takut memasukkan kakinya ke dalam air danau, tetapi Budi yang
duduk di tanggul sekitar 2 meter dari Arunika tersebut memberanikan Arunika
untuk mencelupkan kakinya. Arunika akhirnya memberanikan diri sembari melihat
indahnya danau, tenang dan tentram. Tiba-tiba saja Budi berkata “Aku harus sembuh,
aku bisa sembuh kan? Aku kuat”. Arunika memandang ke arah Budi, mendengar keluh
dan kesah Budi. Mereka kembali menjelma menjadi dua orang yang saling tahu,
saling menguatkan dan saling mendengar. Hingga Budi berkata “Aku ingin teriak, aku ingin memaki! Tapi aku selalu tak bisa
melakukannya. Meski aku tahu mungkin itu akan melepas sedikit beban”. Budi,
dengan mata yang orang-orang mengira dia kuat dan hebat, namun Arunika dapat
membaca bahwa mata itu hanya pura-pura tegar. “Teriaklah, Bud. Tempat ini mampu
mendengarkanmu, begitu pula aku. Teriaklah, semoga beban itu lepas”. Arunika
kembali menjadi Arunika yang Budi kenal, dan Arunika tak sanggup melihat Budi
dalam kesakitan. Ia sangat ingin mengelus rambut Budi sembari berkata, “Aku tak
bisa melihatmu sakit, akupula tak bisa lagi menyembuhkanmu”. Arunika hanya
menunduk, sedang Budi melanjutkan ceritanya. Budi memang dibentuk untuk menjadi
manusia yang kuat, hanya saat ini Budi juga butuh sandaran agar ia mampu
menjadi kuat secara utuh.
Budi duduk di haluan speed, masih berkisah tentang dirinya.
Tampak sekali bahwa ia sangat membutuhkan Arunika untuk mendengarnya, sudah
bertahun ia memendam cerita, segalanya, siang itu tumpah ruah. Mendung semakin
mendekat, mereka tak memerdulikannya. Arunika mengambil handphone Budi,
memotret Budi yang menghadap danau, membelakangi Arunika. Budi masih saja
bercerita, tentang hidupnya yang berat, tentang langitnya yang lebih sering
mendung. Arunika, tak mampu menahan diri, ia meletakkan handphone itu, lalu
duduk tepat di sebelah Budi sembari memeluknya erat. “Aku tak mau melihat kau
sakit, maafkan aku tak bisa menyembuhkanmu. Aku selalu menghindar,
mengabaikanmu, tapi aku tetap tak bisa menolak untuk perduli”. Arunika menangis
tersedu htinya bergetar kuat, dengan Budi yang hanya dapat menunduk dan
mengeluarkan uneg-unegnya. Budi mengenggam erat tangan Arunika, menepuk-nepuk
tangan itu ke dadanya. Danau pun menjadi saksi bisu, langit mendung bahkan
ikan-ikan pun tahu, mereka dua orang yang tersiksa karena sudah tak dapat bersama,
mereka dua orang yang saling cinta namun tak mampu mengungkapkannya. Arunika
pun baru tersadar, bahwa setelah 4 tahun berlalu ketika Arunika hampir tumbang,
Budi mengenggam tangannya. Apakah cinta itu tak mengenal batas waktu? Rumput
pun takkan ragu jika ditanya apakah mereka masih memiliki rasa yang sama.
Arunika masih tersedu, namun ia menjauh
dari Budi, takut-takut jika ada orang yang melihat mereka. Jelas mereka berada
di tempat dan waktu yang sebenarnya sungguh salah. Budi mengatakan hal yang
sudah dapat ditebak oleh Arunika. “Arunika, aku sudah capek mencari
kesana-kemari orang yang dapat ku kisahkan hidupku. Mencari orang yang dapat
menggantikanmu, tetap kaulah orang itu. Kau, orang yang tahu aku, bahkan lebih
dari diriku sendiri”. Arunika kembali meneteskan air matanya. Budi berteriak
sekencang-kencangnya, hingga suara itu memenuhi seluruh danau, bahkan ikan-ikan
pun berenang menjauh dan kocar-kacir. Mereka sudah melepaskan beban-beban yang
2 tahun ini mengganjal hari-hari mereka. Hujan pun perlahan turun ke bumi. Budi
duduk di tepi danau sembari menunduk, sedang Arunika masih tersedu di tangga
sembari berkali-kali mencuci muka. Arunika menyesali, mengapa hidup bisa se-complicated ini, dan mengapa dua orang
saling cinta ini harus tak bisa bersama meskipun mereka sama-sama tersiksa.
Hujan semakin deras, mereka sudah lega
daripada awal datang ke danau itu. Mereka memutuskan untuk bermain hujan, ya
seperti anak kecil yang tak ada beban sama sekali. Tak perduli juga dengan
hal-hal yang terjadi di sekitar mereka. Arunika duduk di atas rakit, tak
perduli dengan hujan yang mengguyurnya, baru kali ini hujan terasa sangat
hangat. Budi menaiki rakit menyusul Arunika dengan sebuah bambu sepanjang 3
meter untuk membuat rakit itu menjauhi tepian danau. Mereka merasakan tenang
yang tiada tara, tak memerdulikan apapun lagi. Mereka menjadi dua anak kecil
yang bermain hujan, mungkin saja itu kerinduan sekaligus kesesalan mengapa
pertemuan mereka baru berjalan 5 tahun ini, mengapa tidak terjadi sejak dahulu.
Danau akan menjadi hal yang mengingatkan Arunika akan Budi, begitu pula dengan
hujan. Danau dan hujan membuat mereka mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya
terlalu sakit untuk dipendam. Apabila semua yang mereka lakukan saat itu ialah
sebuah kesalahan besar, mereka pun sepertinya takkan perduli atas pil pahit
yang akan mereka telan, apalagi jika hanya terkena demam. Mereka melepaskan
kerinduan itu sejadi-jadinya. Apakah Tuhan merestui itu? Mereka pun berharap
Tuhan memberikan jalan terbaik, entah itu mempersatukan atau bahkan membuat
mereka saling melupa.
Arunika kembali dengan pakaian yang basah kuyup, tapi ia tetap bahagia akan itu. Ia menulis di secaring kertas yang kelak ditemukan Budi di saku jaket hitamnya. Hal-hal yang terjadi memang sebab Tuhan pun iba melihat Budi melawan sakitnya sendirian, sebab itu Arunika menjadi obat pelipur Budi meskipun satu hari.
Beginilah kira-kira isi surat Arunika untuk Budi.
Bud, sekarang aku mengenangmu sebagai danau dan hujan. Tempat kita
bermain rakit ketika hujan deras, tak perduli esok mengigil atau tidak. Aku pun
mengingatmu sebagai danau indah dengan ribuan ikan, mereka saja saksi kita
selain Tuhan. Bahwa aku pernah menyerah atas kepura-puraanku. Aku mencintaimu,
Bud. Meskipun kita bagaikan air dan tanah yang sudah kering tak balik, tak akan
dapat bersatu lagi.
Ya, jika kelak kau bertanya padaku lagi, jika diberikan kesempatan
menukar 10 tahun untuk 1 hari yang berkesan. Aku ingin mengulang hari itu, hari
diakhir Juni, dimana cerah yang tiba-tiba memudar. Aku dan kau berada di danau
itu, duduk di speed, bercerita tentang hidup dan hari-hari berat saat kita
saling jauh.
Lagi, sejauh aku berjalan, aku tak menemukan keinginan lain selain
bersamamu, keinginan yang terlalu jujur dan tak muluk, pun kau juga ingin
bersamaku. Tapi lagi, cukup satu dari jutaan hari kita mengakui cinta itu
hadir, selebihnya biarlah hidup dalam titik nadir.
Tuhan, jikalau umurku tak panjang untuk mengisahkan cinta ini dalam
sebuah buku. Tolong panjangkan umur seseorang untuk menuliskan ini. Ku harap
kisah ini lebih panjang dari umurku. Aku mencintainya, seperti bumi yang hidup
jika ada udara. Aku mencintainya seperti hawa yang hanya mencintai adam
sepanjang umurnya.
Komentar
Posting Komentar