Hari ini aku
mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia
yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang
pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil
itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya,
berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “Legowo” dan berfikir aku sudah pada
tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo?
Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata
itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku
temui adalah legowo merupakan kalimat
tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang
menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.
Perihal legowo,
aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang
pemahaman mereka tentang kata itu. Kebanyakan memang berkata legowo merupakan persamaan dari ikhlas
dan menerima apa adanya. Satu hal yang menarik adalah ketika salah satu kawan
berkata bahwa legowo ialah perasaan
dimana sudah tak ada beban yang tersirat dalam pikiran atau hati.
Sepertinya, boleh juga kita bertanya pada hati dan
pikiran secara berulang-ulang, apakah kau sudah legowo, atas hal-hal yang menyakitkan dan mengganjal?
Wahai hati dan fikiran....
Apakah kau sudah legowo?
Ketika sebuah pensil yang kau sadari telah usang, patah dan tak dapat kau
gunakan lagi?
Apakah kau sudah legowo?
Perjalanan dan penantian yang kau harapkan dan idamkan, tidak dapat kau raih
hanya karena usahamu kurang keras dari orang yang menginginkan hal yang sama?
Apakah kau sudah legowo?
Seseorang yang menemanimu ketika kau dalam suatu kebahagiaan dan menggenggam
erat tanganmu ketika tak seorang pun sudi melakukannya, sudah tak ada lagi? Entah
ia lenyap oleh egomu atau oleh dunia.
Apakah kau sudah legowo?
jawabannya ialah ketika hatimu sudah tak meringis lagi, pikiranmu sudah tak terhantui
dan kau hidup dalam kebahagiaan yang sesungguhnya. Legowo bukan berarti
melupakan, legowo ialah merelakan.
Suatu ketika, aku bertemu dengan seorang anak kecil yang
saat itu telah tumbuh menjadi sosok yang rupawan dan dicintai oleh banyak
orang. Ia terlihat sangat kuat, tak pernah tampak lelah, meskipun sebenarnya ia
adalah sosok rapuh yang menangis dalam kesendirian. Ia pendiam, sangat payah
dalam mengungkapkan, namun ia cerdas karena dalam diamnya ia berpikir, tak
pernah lelah berpikir. Ia memanggilku Ibu, sebuah panggilan yang terlalu hebat
untuk sosok aku yang sebenarnya masih sangat kekanak-kanakan. Ia menemukan Ibu
di dalam aku, karena aku menyembuhkannya kala terluka dan meringis ketika ia
jatuh dari sepeda. Ia juga menemukan sosok Ibu ketika aku menyuapinya makanan
kesukaannya. Sayur sop, ayam goreng dan sedikit sambal. Ibu yang menatap
matanya lalu faham bahwa ia tengah terluka. Tapi ia lupa, wanita yang ia anggap
Ibu itu jua bukanlah sepenuhnya dapat menjadi Ibu. Sebab, tak akan ada yang
dapat seutuhnya menjadi malaikat.
Ia meringis, ketika menyadari segala kenyataan itu. Aku,
tak mampu membiarkannya menangis dan meringis. Tapi, hidup harus terus
berjalan, kenyataan memang terkadang menyakitkan. Ketika ia akan pergi dengan
sebuah koper biru tua, menuju sebuah kota kecil di Rusia, aku menitipkan sebuah
pesan singkat yang membuatnya terdiam dan menyalahkan diri sendiri. Pesanku,
adalah ia harus legowo. Bukan berarti
harus membenciku sepenuhnya atau melupakanku seutuhnya, terbanglah bebas di
langit manapun entah itu Rusia entah itu Indonesia. Selagi bukan hadir dalam
hidupku dengan membawa harapan bahwa aku ialah Ibu dari rapuh jiwanya, Ibu dari
luka batinnya atau Ibu yang ia harapkan untuk anak-anaknya.
Legowo
ialah ia yang datang padaku menanyakan kabarku dan bagaimana hidupku di negara
tropis tanpa salju ini, bukan legowo
yang berarti ia yang datang untuk izin padaku membuka hati untuk
manusia-manusia selain aku. Bertanyalah, pada siapapun, tentang legowo, jika kau sudah mafhum, legowo-lah, lalu kita hidup dengan Tuhan
yang menentukan arah jalan kita. Mungkin aku sudah mati sebagai Ibu yang kau
sempat hidupkan, tapi aku belum mati sebagai manusia.
Siapapun,
bertanyalah pada dirimu sendiri apa arti legowo
itu, dan bertanyalah sampai kau bosan hingga akhirnya kau menemukan jawaban. Legowo bukan ucapan yang dapat kau
ungkapkan secara lisan, namun disaat hati dan pikiranmu sepenuhnya merelakan.
Komentar
Posting Komentar