Sore itu langit sedang
indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi
tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk
di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri
sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika
sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun,
bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja
dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang
pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi
namanya.
Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai
dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM
di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika
menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan
sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas Hukum yang menyukai
musik dan sastra, tak heran Arunika sering menjulukinya Budak Siksa karena
sangat menyukai dua hal tersebut. Mereka memang sangat jarang terlihat
berbincang di depan kawan-kawan di komunitas, tetapi sebenarnya mereka
merupakan sepasang orang gila ketika berbincang tentang buku, lagu bahkan HAM.
Budi menghampiri Arunika bukan tanpa
alasan, ia mendengar bahwa wanita itu sedang tidak baik keadaan hatinya. Semenjak
Ikar, seorang yang diketahui pernah menjadi pemilik hati Arunika pergi ke
perantauan dengan tanpa permisi namun memberikan sebuah foto mereka berdua
dibingkai kaca dan berbungkus kertas kado. Bukan sebuah tanda bawa Budi mulai
melirik untuk masuk ke hati Arunika, tapi Budi merasa pasti akan hampa bedah
buku di rabu nanti jika Arunika masih bermuram. Meski, sesungguhnya Budi lah
yang sangat perlu diperbaiki keadaan hatinya.
“Kamu baik-baik saja, Arunika?”. Tanya
Budi memecah hening, tak seperti biasanya, Budi yang dingin ini mencoba menjadi
seorang yang hangat. “Kau yang terlihat sedang tidak baik, Bud. Mengapa
menanyakan kepadaku?”. Budi hanya tersenyum, sangat manis, jika saja Arunika
tidak ingat bahwa Budi hanyalah mampu ia jadikan penginspirasi tanpa bisa dimiliki,
pasti ia akan tersipu malu. Karena itulah Arunika memilih mengalihkan
pandangan.
Budi, seorang yang terkenal bersikap
dingin itu adalah sebaik-baiknya pria. Ia mencintai seorang wanita, sahabat
baiknya di kampus. Pepatah jawa yang sangat menggambarkan kisah Budi adalah “Witing
tresno jalaran soko kulino”, ya, cinta datang karena terbiasa. Seperti cinta
anak SMA, Budi mengawali kisah cintanya dari berteman, meskipun berakhir dengan
berteman juga, bukan jadian. Pertemuan yang sering terjadi karena mereka satu
kampus adalah hal yang saat ini Budi benci, meskipun dulu adalah hal yang
sangat ia syukuri. Rasa itu mulai tumbuh ketika mereka berdua sering
mengerjakan tugas bersama, Budi yang terkenal dingin itu mulai menghangat
karena wanita itu sering memberikan perhatian lebih padanya. Sampai pada titik
dimana Budi harus mengalah dan tersadar bahwa wanita tersebut sudah dimiliki
oleh orang lain. Mereka yang sering pergi ke segala tempat bersama, meminum
kopi di meja yang sama, bahkan bernafas dengan udara yang sama kembali menjadi
asing. Seperti saat mereka belum saling mengenal. Wanita itu, meskipun Budi
tahu sempat ada rasa untuk dirinya, namun saat ini memang sudah tak ada Budi di
dalam ingatan. Tapi, karena memang sebaik-baiknya pria adalah Budi salah
satunya, Budi kembali menjadi seorang pria yang mencintai satu wanita, menunggu
satu wanita, dan membuat wanita lain hanya dapat mengenalnya sebatas luar tanpa
mengizinkan wanita lain masuk dan mencuri hatinya.
“Arunika?”, suara Budi memecah
ingatannya tentang seorang yang sejujurnya sering membuat Arunika mati kutu. “Apa
yang sedang kau fikirkan? Lebih baik kau ikut aku mencari buku loak untuk bahan
bacaan kita, ketimbang melamun disini?”. Tangan Budi dengan tanpa sadar
menggenggam tangan Arunika dan mereka bergandengan melalui lajur dengan lampu
yang berwarna kuning. Malam sudah mulai memeluk kota indah itu. Arunika dengan
hati yang bimbang, memupuk rasa untuk Ikar yang pergi meninggalkan harapan pada
Arunika, atau menahan perasaan pada Budi yang ada di depan mata namun mencintai
wanita lain secara ambisius.
Sudah hampir satu jam mereka
berkeliling pasar buku loak untuk mencari buku “Babad Tanah Jawi”, bukan untuk
kajian tentang tugas kuliahnya, bukan juga untuk bedah buku komunitas di hari
rabu nanti, tapi untuk membuat Arunika kembali bersemangat, sebab sudah sejak
tiga bulan lalu Arunika sangat ingin membaca buku itu. Sadar tak sadar, sejak
dari tepi sungai itu, Budi mulai memusingkan bagaimana cara mengembalikan
senyum seorang Arunika.
Hari rabu tiba, merupakan hari
penting karena Komunitas Penggores Pena atau yang sering disingkat KPP akan
melaksanakan agenda rutin yaitu bedah buku. Bedah buku kali itu juga sangat
menarik, membahas buku Bumi Manusia, “Sumber inspirasi dari segala buku”,
menurut Arunika. Pagi yang sangat menyenangkan, dengan udara yang sangat segar.
Namun ada yang ia lupa, hari itu tepat tanggal 8 Mei, Budi pasti sudah
berkumpul di sekretariatnya bersama kawan-kawan untuk turun ke jalan. Arunika
mengirim sepucuk pesan pada Budi, “Bud. Hari ini jangan lupa ke komunitas, kita
bedah buku Pram, lho. Semangat juga untuk aksi hari ini”. Faktanya, Arunika
sangat jarang berkomunikasi dengan Budi dengan bahasa yang menjurus seperti
itu. Hanya karena hari itu ada dua agenda yang penting dalam hidup Budi,
Arunika memberanikan diri mengirim pesan berbumbu menyemangati. Padahal Budi
selalu terlihat seperti seorang yang sangat bijak, selalu bersemangat, meskipun
kita tahu, manusia tak ada yang sempurna.
Arunika sudah pusing melahap materi
kuliah sejak pagi hingga sore. Saking penuhnya jadwal kuliah ia sampai tidak
menyentuh handphone sama sekali. Setelah berberes alat tulis dan buku
kuliahnya, Arunika segera berangkat ke komunitas bersama Wita, sahabatnya. Setibanya
di komunitas, tidak seramai yang ia kira. Arunika yang awalnya bersemangat
malah menjadi bingung, tak mungkin pembahasan tentang buku Bumi Manusia tak
menarik perhatian banyak orang di komunitas.
Imam,
seorang kawan di komunitas mendekati Arunika dan Wita dengan wajah yang
menyimpan kebimbangan. “Arunika? Apa kau sudah dengar kabar yang beredar?. “Kabar
apa, mam?” tanya Wita yang tak lebih bingung dari Arunika. “Hari ini, 8 Mei. Penggiat
HAM turun ke jalan”. “Iya, aku tahu.” jawab Arunika tanpa mengurangi rasa dan
raut bingung di wajahnya, namun ia lantas teringat akan Budi dan langsung
mencari handphonenya di dalam tas lalu membukanya. Sudah banyak panggilan tak
terjawab. Tak sempat Arunika tenggelam dalam handphone nya, Imam melanjutkan
pembicaraan, “Tadi siang keadaan sangat panas, delapan orang penggiat HAM
dibekuk oleh aparat, salah satunya yang paling vokal dan frontal diantara kita
di komunitas, Budi”. Sontak Arunika tersandar ke bahu Wita, untuk pertama
kalinya ia tak sanggup menyembunyikan rasa dan bahasa tubuhnya tentang Budi. Ia
sejujurnya ingin menangis, sebab tak tahu harus bagaimana, namun ia mencoba
menahan tangis itu dengan sangat kuat. Ia membuka handphone dan melihat balasan
pesan dari Budi.
“Pram,
memang penulis yang hebat. Kalau ia masih hidup, sudah ku ajak ngopi dan
membicarakan humanisme, pasti kami sefrekuensi. Karena ia sudah tiada, kita
saja yang menghidupkan ia di bedah buku nanti. Aku pasti hadir. Dari pagi
sampai siang ini, aku juga akan menghidupkan Marsinah, doakan saja teriakanku
dapat masuk ke dalam telinga penguasa yang pura-pura tuli itu. Arunika, kalau
ada waktu kau boleh ikut serta menghidupkan Marsinah. Tabik”. Arunika yang
berpikir bahwa pesan Budi dapat membuat tangisnya tertahan, malah menambah
keinginannya menumpahkan air mata. Wita memboyong Arunika pulang dengan jaminan
Imam akan mengabari mereka, suasana di Sektor Kota masih panas, Arunika dan
Wita dilarang keras oleh kawan-kawan komunitas untuk pergi kesana.
Kamis pagi sekitar pukul 09:20, motor
yang membawa Arunika tiba di Sektor Kota. Budi dengan rambut ikal nan panjang
yang sangat mencolok itu terlihat sedang berbincang dengan beberapa temannya. Dengan
muka bonyok dan luka di siku kanan serta kiri, Arunika masih sangat
mengenalinya. Budi melihat Arunika dari kejauhan sembari tersenyum manis,
Arunika tak tersenyum sama sekali, meskipun ada rasa aneh di hatinya. Ia berasa
kembali bernyawa setelah semalaman tak bernafas lega. “Kau ingkar janji, Bud”,
tembak Arunika. “Kau tak hadir ke komunitas, kau bilang kau dan Pram
sefrekuensi”, tambahnya. “Kau sedang tidak baik, Bud. Mengapa kau sampai ke
sini? Apa yang kau lakukan?”, ujar Arunika dengan tatapan tajam. “Aku baik-baik
saja. Kau sudah membaca pesanku? Marsinah benar-benar hidup, Arunika. Itulah
mengapa mereka menahan ku, menahan teman-temanku. Mereka pecundang”. “Kau
memang membuat Marsinah hidup di hari kematiannya, namun kau sampai seperti
ini, apa kau tak berpikir malah kau yang bisa-bisa mati” cemas Arunika, ia
sudah tak dapat menahan diri.
Beberapa Anggota Komunitas Penggores
Pena, penggiat HAM, dan mahasiswa Fakultas Hukum, sudah berkumpul di depan Sektor
Kota untuk menjemput Budi dan beberapa orang yang ditahan semalaman. Arunika
masih berdiri di sebelah Budi tanpa sepatah katapun. Ia yakin, orang buta dan
tuli pun paham bahwa Arunika memang telah mengakui bahwa Budi sangat berarti
untuknya. Namun Budi masih saja berpikir apakah wanita itu, wanita yang
meninggalkannya sejak bersama pria lain itu tahu bahwa Budi telah dibekuk dan
pulang dengan keadaan babak belur. Arunika mengembalikan Budi pada tempat yang
seharusnya. Ibaratkan sebuah buku, Budi adalah buku yang berada di etalase “Best
Seller”, hanya dapat dipandang dan dikagumi, bukan dimiliki.
Komentar
Posting Komentar