Sabtu pagi dengan semangat weekend sudah membumbung tinggi dalam hati Arunika. Tugas negara
sudah selesai. Budi masih mengawang-ngawang di pikiran. Budi, ya nama yang
kerap kali mengisi kisah Arunika. Seorang aktivis, yang sekarang juga menjadi
jurnalis, si bijaksana dan selalu terlihat sabar. Tak lupa dengan sedikit lugu
dan pesonanya sehingga bukan hanya Arunika, banyak wanita lain dari fans K-pop
sampai penyuka kucing pun juga mengaguminya sejak awal berjumpa. Ah dasar,
Bucin, ungkap Arunika ketika melihat beberapa wanita mendekati Budi dan mengajaknya
ngopi. Padahal belum tentu wanita itu mengagumi Budi, tapi yang pasti mereka
mencari kesempatan.
“Beuh, banyak bangetttt Bucin disini” ujar Arunika pada
Budi. “Bucin? Mereka? Bucinnya siapa?” Budi masih tidak mengerti bahwa Arunika
tengah menyikutnya. “Itu mereka, Bucin, Budi Cintaku. Hahahaha”. Arunika
tertawa sembari menarik buku Bumi Manusia yang ada di genggaman Budi. “Bud, aku
pulang dulu ya, aku bawa Bumi Manusia-mu”. Budi masih berdiri di tempat yang
sama sejak mereka bercakap beberapa menit lalu, ia memandangi punggung Arunika
hingga semakin jauh dan tak terlihat lagi. Ia masih mematung dan berfikir keras
akan maksud omongan Arunika.
Esoknya, “Bud, ingat ya” pesan
singkat Arunika sebelum ia berangkat ke suatu entah. Di perjalanan,
Arunika bertemu dengan seorang kawan lama. Yaa, memang seorang kawan. Namanya Adrie.
Mereka hanya berpapas barang satu dua detik, namun sepanjang perjalanan Arunika
menuju suatu entah, ia ingat akan kisah masa SMA-nya.
Adrie, seorang yang berumur satu
tahun lebih tua dari Arunika namun mereka satu kelas. Awal mengenal Adrie,
Arunika sangat ingat jelas. Adrie adalah siswa yang telat masuk, satu minggu
setelah MOS (Masa Orientasi Siswa). First
impression saat melihat Adrie adalah dia tampan, mustahil bagi siswi
seperti Arunika bisa dilirik olehnya, apalagi bisa kenal dekat. Arunika hanya
menumpahkan ke-kepo-an-nya terhadap Adrie kepada teman sebangku. Tak jauh waktu
berjalan, mereka ditemukan dengan satu tugas kelompok yang sama, sejarah, mata
pelajaran yang saat itu dibenci Arunika (namun sekarang Arunika malah menyukai
sejarah, Adrie lah seorang yang membuatnya begitu). Seperti kelompok tugas pada
umumnya, mereka harus saling kontak. Itulah awal mula Arunika dan Adrie
bertukaran nomor HP. Hari demi hari, Arunika dan Adrie semakin dekat. Adrie
adalah seorang yang terkenal sangat malas, guru-guru mengenalnya dengan label “Siswa
ganteng, yang baik hati, namun luar biasa malas dan cuek terhadap segala hal
yang berbau akademik”.
Arunika, siswi yang setiap hari bawa
mukenah ke sekolah untuk sholat dzhuhur datang ke masjid jauh lebih awal dari
biasanya. Adrie yang masih keturunan Arab itu ternyata memegang kalimatnya kemarin
malam. “Add, coba deh kamu adzan di masjid sekolah, kamu kan suka tuh nyanyi
lagu dan sholawat di kelas, kenapa ga adzan aja? Aku yakin suara kamu pasti bagus”, ujar Arunika di
Pesan Singkatnya (SMS). “Iya, besok aku akan adzan di masjid sekolah. Tunggu aja”,
Arunika hanya menganggap bahwa itu sekadar gurauan Adrie. Ternyata, Adrie
membuktikan omongannya. Arunika, siang itu, bertambah kagum pada Adrie. Semakin
hebat saja Adrie, semakin jauh saja Adrie untuk digapai.
Setengah jam Arunika duduk di bawah
pohon bungur yang tengah berbunga ungu, Arunika mengeluarkan buku Bumi Manusia
yang kemarin ia ambil dari genggaman Budi. Ah, entah sudah berapa kali Arunika
membaca buku ini, namun tak bosan rasanya untuk mengulang berkali-kali. Budi datang
dari arah jam satu dan langsung menatap mata Arunika yang terlihat kosong
sembari menyimpan buku catatan ke atas Bumi Manusia yang tengah di lahap
Arunika dalam sepi. “Ini catatanmu, aku yang malas mencatat ini jadi kecanduan
mencatat. Terimakasih. Aku ke sekre dulu ya, ada rapat dadakan nih”. Budi berlalu,
Arunika hanya mengangguk.
Terbang lagi pikiran Arunika pada
Adrie, seorang yang entah itu. Entah dulu hanya sekadar memberikan perhatian
lebih pada Arunika tanpa ada rasa yang lebih. Entah dulu ia mundur teratur
karena Arunika sering menganggap “sayang” dari Adrie hanya lelucon yang sering
ia ucapkan dalam setiap pesan singkatnya. Entah. Buku catatan yang Budi berikan
pada Arunika juga mengingatkan pada Adrie. Waktu itu, di 2013. Hari kamis
manis, sebab tak ada guru yang masuk. Pelajaran terakhir adalah Matematika,
namun gurunya juga tak dapat hadir. Siswa hanya diberi tugas mencatat
rumus-rumus yang dicatat sekretaris di papan tulis. Adrie, siswa baik hati,
rajin ibadah namun malas itu hanya bermain kartu remi sembari dikelilingi
cewek-cewek modus. Arunika menatap ke Adrie yang tak jarang menatapnya
diam-diam.
“Ah, si Adrie, tebar pesona mulu,
nyatat ga, MID semester aja rangking 31 dari 32 siswa, mau jadi apa dia kalo
gini terus”, Arunika membawa buku catatan Matematikanya dan berjalan mendekati
Adrie. “Kamu ga nyatat?”, tatap Arunika tajam pada mata Adrie. “Aku malas
nyatat, Arunika”, jawab Adrie dengan tatapan melas nan malas. “Yaudah Add, kita
tukar buku catatan Matematika, yuk? Kamu catat di buku aku, aku catat di bukumu.
Mau gak??”, tanya Arunika dengan nekat (padahal dalam hati : behhh kalo si
Adrie ga mau, malu ku segede gaban ini). “Okeee, aku catat”, Adrie mengambil buku
catatan Matematika Arunika tanpa ba-bi-bu.
Berawal dari catatan Matematika, hingga
merembet ke belajar Bahasa Arab dan menulisnya. Arunika dan Adrie semakin
dekat, Adrie yang awalnya cuek bebek dengan tugas, jadi yang selalu ngumpulkan
tugas dengan tepat waktu. Sudah tak ada terdengar omelan guru pada Adrie di
kelas maupun di ruangan guru. Ulangan akhir semester 1 sudah belalu, hasilnya
adalah Arunika seperti biasa sejak ia SD dan SMP, sampai ia di SMA pun selalu
masuk rangking 10 besar. Dan yang mengejutkan seantero kelas adalah Adrie si
malas mendapat rangking 16. Arunika, bahkan si Adrie pun benar-benar tak yakin.
Namun, memang benar Adrie, sudah bukan si pemalas lagi.
Waktu berlalu, Adrie, sudah tak
sesering biasanya mengingatkan Arunika untuk sholat dan belajar bersama. Adrie masih
sering memberikan HP nya pada Arunika jika ia akan ke masjid, Adrie masih
sering bercerita pada Arunika tentang siapa saja yang mengirimkan SMS padanya
yang dia pun tak tau orang tersebut mendapat nomor HP nya dari mana. Yang pasti,
Adrie banyak memiliki pengagum rahasia. Namun, meskipun ada “sering”, Arunika
merasa Adrie sudah beda.
“Arunika”, ucap Adrie sembari
memandang Arunika yang duduk di bangku depan kelas. “Kemarin malam, Lindy SMS
aku, dia ngucapin selamat malam”. Ah si Lindy, Arunika sudah tahu sejak lama
bahwa Lindy memang terobsesi pada Adrie. Dengan singkat Arunika menjawab, “Lalu,
kau balas?”. “Tidak, untuk apa aku balas”, jawab Adrie sembari memberikan HP
nya pada Arunika dan pergi ke masjid. Ada-ada saja tingkah Adrie, menyombongkan
bahwa banyak yang suka padanya atau menyuruh Arunika mundur teratur secara
tidak langsung?
SMS dari nomor tak dikenal tak
sengaja terbaca Arunika, ada bumbu “sayang-sayangan”. Adrie datang dari masjid,
mengambil HP nya dan menjelaskan pada Arunika. Iya dia mengaku itu wanita yang
sama-sama keturunan Arab seperti dia, dan Adrie hanya kasihan pada wanita itu
sehingga merespon panggilan “sayang”-nya. Ah, kasihan? Sebab kasihan itulah,
tak ada lagi kisah Arunika dan Adrie. Adrie tak pernah lagi mengadu pada
Arunika, apalagi membangunkan Arunika sholat subuh seperti dulu. Adrie sudah
kembali malas. Arunika hanya berpikir bahwa, tugasku mungkin telah selesai,
mengajak seorang Adrie yang malas menjadi
Adrie yang rajin. Adrie setiap hari selalu diomeli guru sebab tak pernah
mau mengumpulkan tugas dan PR. Arunika, yang sekelas dengannya hanya bisa diam
tanpa bisa mengajak Adrie untuk sadar. Sebab, terakhir mereka tak saling sapa,
Adrie marah besar pada Arunika karena Arunika tak menggubrisnya. Ujian akhir
semester dua sudah berlalu, Arunika sudah saling sapa dengan Adrie, sebab
takdir mempertemukan mereka di kelompok Bahasa Inggris dan seluruh kelas bersuka
cita termasuk guru bahasa inggris yang kebetulan wali kelas mereka, “Ada apa
antara Arunika dan Adrie?”, ujar mom bertanya kepada seisi kelas. Kebanyakan dari
mereka seyum-senyum menatap Arunika yang tengah menulis anggota kelompoknya di
papan tulis dan Adrie yang duduk di bangku sembari mengacungkan tangan agar
namanya ditulis oleh Arunika, hal ini terjadi karena hampir seluruh isi kelas
tahu mereka sudah tak saling sapa beberapa bulan dan sulit membuat mereka saling bicara. Entah Arunika yang
alay, atau si Adrie yang lebay. Tapi, bisa ditebak endingnya. Semua tak akan
sama lagi, ending yang dapat ditebak lagi adalah Adrie kembali menyabet
rangking 31 dari 32 siswa. Kisah berakhir dengan banyak tanda tanya. Rancu!
Budi, yang entah datang dari arah jam berapa duduk di
sebelah Arunika yang masih terpaku di bawah rindangnya pohon bungur. Menceritakan
tentang seorang yang megajaknya pergi ke prom
nite, dan Budi akan pergi sebab ia kasihan pada si wanita. Arunika hanya
tersenyum. Lalu, yang terjadi pada Arunika dan Budi, saat ini, kali ini. Apakah
akan memiliki akhir yang sama dengan yang terjadi pada Arunika dan Adrie?
Komentar
Posting Komentar