“Bud,
aku sedang tak baik-baik saja”, ujar Arunika pada Budi di suatu hari. Lalu hari
tersebut Budi habiskan untuk menemani Arunika mengelilingi kota. Ya, kota ini
tempat pertama kali Arunika mengenal Budi. Kota yang kelak akan menjadi saksi, sebuah
perpisahan atau sebuah keselarasan. Sungai yang panjang itu mereka telusuri
berdua, melewati sebuah water front
dengan lukisan corak insang. Sungai yang mereka tahu bahwa Wiji Thukul pernah
bersenda dengan temannya beberapa bulan sebelum dinyatakan hilang sampai saat
ini, ah Kapuas, sungai yang tak kalah panjang dari perjalanan hidup mereka.
Budi
dan Arunika duduk di sebuah gazebo yang menghadap langsung pada Sungai Kapuas
dan Masjid Jami’, “Kau tahu Bud, terakhir aku tak bisa beranjak dari kota ini
adalah sebab seorang yang adzannya tak kalah merdu dibanding muadzin di masjid
itu. Namanya tak jauh beda dengan namamu”. Mata Arunika berkaca-kaca, begitu
mereka berdua bergantian membuat Arunika bahagia berturut-turut. “Tahu kah kau,
Bud? Di dalam hidup, dapat dihitung jari orang yang menetap di dalam tulisanku,
mereka berganti karena mati atau karena orang lain yang lebih baik”, hampir
saja Arunika bercerita tentang tulisannya yang tak jauh dari sebuah nama, nama
seorang yang tepat di depan matanya.
“Arunika,
aku akan pergi ke suatu tempat. Cukup jauh dari kota ini, dua belas jam
menggunakan pesawat”, ujar Budi sembari mengalihkan pandangnya dari Arunika. “Akupun
juga ingin menarik bohongku malam itu, malam dimana cafetaria tempat kita
bercerita belum gulung tikar”, Budi menghela napasnya, sangat dalam. “Perihal
itu semua, malam setelah aku berujar bohong padamu, aku berharap aku bisa
melupakanmu”, “Lalu kau bisa melupa, Bud?”, tanya Arunika sembari memandang
Sungai Kapuas yang tak akan berhenti mengalir meskipun kelak mereka berdua
takkan bersua. “Tidak”, singkat Budi sembari berpangku dagu.
Arunika
tak ingin menatap mata Budi, sebab ia tak akan rela menghabiskan air matanya
malam itu, meskipun pada akhirnya semua itu tak dapat terelakkan. Sudah beberapa
hari ia memang merasakan hal-hal yang tak mengenakkan. Semua tumpah ruah ketika
Budi mengeluarkan beberapa kalimat. Ah sudahlah, hujan sepertinya membutuhkan
kawan.
Sulit
untuk mengungkapkan dengan serpihan kata
Bingung
akan pilihan
Bunga
yang telah ku rajut memiliki warna yang khas, indah dimata
Aku
yang salah, bodoh, bermuka dua ataupun tiga
Apakah
pilihan terbaik adalah tengelam, hilang dan meninggalkan warna?
Jika
ada yang salah salahkan aku saja!
Unknown,
2019
Budi membuka sebuah lembar yang entah ia dapat dari mana,
bertuliskan puisi yang cukup menggambarkan perasaan hatinya. “Kau tahu Arunika?
Aku adalah seorang yang sulit mengungkapkan, namun, kali ini biarkan aku
menjadi seorang yang berbeda, yang jauh lebih berani”. Budi memegang kepalanya
sembari berujar, “Aku memang bodoh! Hanya bisa terdiam, tak bisa mengucapkan,
aku pun memilih menyakitimu selama itu. Dan malah ketika akan pergi sejauh ini,
aku baru berani mengungkapkannya”. “Aku sempat ingin menjadikan kau sebuah yang
nyata dan ku tunjukkan pada dunia, namun ku fikir lagi, bukankah pacaran itu
akan berujung putus?”. Malam itu berakhir dengan samar yang bermetamorfosa
menjadi jelas, gelap yang menjelma terang, meskipun di waktu yang salah.
Malam yang menjadi dini hari, mengantar Arunika berjalan
pada pikirannya, pada sebuah hari dimana ia menulis puisi berdua dengan sahabat
kecilnya Febi, Febi adalah seorang yang sangat suka menulis. Febi juga aktif di
berbagai macam organisasi. Suatu malam, Febi dan Arunika bertemu di sebuah cafe
yang memang penuh dengan keheningan. Mereka berdua sedang mengalami titik
terendah masing-masing, merasakan sakit yang entah apa, lalu mereka tuliskan
dalam sebuah puisi. Puisi tentang perasaan hati masing-masing namun saling
bersatu padu.
Beberapa
minggu setelah pertemuan mereka, Febi menunjukkan sebuah video pada Arunika. “Arunika,
aku dan teman-temanku mengadakan pentas seni tentang sebuah kisah cinta : Serigala
yang jatuh cinta pada seekor Kelinci. Pada akhir cerita, saat kelinci akan
mati, aku membacakan puisi yang kita tulis berdua. Lalu banyak yang baper ketika kalimat akhirnya ku tutup
dengan puisi buatanmu : Aku sudah
mati-matian, bukan rasa yang mati. Malah aku yang mati”. Arunika tak
sanggup menahan air mata, meskipun ia segera menghapusnya. Tulisan itu, yang
akan kelak ia ingat dan ia ceritakan pada Budi. Bahwa, ia sempat menjadikan
Budi seorang yang pantas ia tulis.
Pada
Budi, seorang yang masih saja selalu menjadi tanda tanya. Arunika menuliskan
sebuah pesan yang ia masukkan di saku jaket hitam yang membalut tubuh Budi
malam itu.
“Bud,
kau tak akan tahu betapa tulisan-tulisan kelam itu adalah sebaik-baiknya
pendengarku ketika tak satupun memahami aku. Kau adalah yang mengetahui
lelahku, hanya dengan menatapku, kau juga tahu sakitku. Kita menghabiskan
segala kebodohan-dengan tak berpikir bahwa semua itu adalah hal bodoh. Aku pernah
mengajarimu untuk legowo atas pilihan
terpaksamu untuk mendalami Hukum Tata Negara padahal kau lebih suka Hukum
Agraria sebab Ayahmu adalah seorang petani yang mengalami ketidakadilan hukum. Lalu,
bolehkah kali ini aku tak mengizinkanmu legowo
atas aku?
Terbanglah
kemanapun arahmu, entah siapa yang menemanimu. Aku-dan segala fondasi itu, akan
menemanimu dalam sebuah ingat yang tak akan bisa kau lupakan. Kita adalah fiksi
yang sebenarnya nyata”.
Komentar
Posting Komentar