Satu bulan berlalu, Arunika dan Budi tidak bertemu satu
sama lain. Terakhir, Budi berjanji akan menemui Arunika di sebuah bukit sekitar
172 kilometer dari pusat kota. Mereka akan bertemu dan Budi akan membawa
Arunika ke sebuah perjalanan waktu, Arunika hanya tertawa ketika membaca pesan
singkat Budi. Sejak kapan cerita ini menjadi cerita fantasi?
Sore telah menyambut Arunika ketika ia berada di puncak
bukit tersebut, syukurlah ia sampai ketika sore karena bukit itu malah seperti
bukit teletubbis dimana hanya ada satu pohon tepat di puncaknya, sisanya hanya
rerumputan semata kaki. “Hai Arunika!” teriak Budi dengan suara yang menggema.
“Kita akan kemana, Bud?” Tanya Arunika ketika Budi sudah duduk disebelahnya. Budi
mengajak Arunika menuju sebuah lubang di akar pohon tunggal di bukit tersebut.
Mereka ditarik oleh sebuah kekuatan yang membuat tubuh mereka terasa sangat
aneh. Setelah rasa aneh yang sangat luar biasa itu, terasa hawa segar yang
membuat Arunika memberanikan diri membuka matanya. Sebuah tempat indah dengan
pepohonan yang rindang dan berdaun hijau, pasti saat itu musim semi, fikir
Arunika. Tak lama gelap menutupi seluruh pandang Arunika.
Selamat
pagi, Arunika. Ucap ia pada dirinya sendiri, di awal Desember. Hari itu dunia
terasa sedikit menegangkan, Arunika akan membacakan sepucuk puisi di sebuah
acara deklarasi. Meskipun ia akhirnya melewati ketegangan itu. Semua berawal
hari itu, panggil saja namanya Budi. Seorang pria dengan tinggi 172 cm, kulit
kuning langsat, dan rambut sebahu. “Hai, boleh foto bareng” sebuah ucap Arunika
demi menyenangi hati seorang kawan. “Iya, boleh” jawab Budi setelah lima detik
memandangi Arunika. Dan tak disadari Arunika, belum genap lima detik ia sudah
jatuh cinta pada Budi. Bukan untuk pertama kalinya, sebab, Budi sudah mengisi
hati Arunika, sebelum itu, namun Budi yang ia sukai adalah Budi yang rupawan,
bukan Budi dan seluruh kekurangannya. Ini adalah kisah dimana Arunika mencintai
Budi dengan seluruh kekuranganya.
Saat
itu Arunika di semester dua, senin yang sangat membosankan sebab Arunika masuk
kuliah pukul 07:00 dan kuliah terakhir pukul 17:00. Arunika dan pikiran
terliarnya berharap bisa bertemu Budi, ia melalui kantin Fakultas, melihat
motor Budi dan tak sengaja melihat Budi berjalan menuju kelas. Semenjak lima
detik tatap itu, bertemu Budi adalah sebuah candu. Arunika sempat menepisnya,
namun kian hari ia semakin didekatkan dengan Budi. Sampai pada satu titik, mereka
harus bersua setiap hari dan mengerjakan sebuah projek. Arunika yang semakin
hari semakin mengenal Budi, kelebihan hingga kekurangan.
“Arunika,
bisa kau jangan terlalu dekat dengan Budi? Berikan aku sedikit space untuk bisa dekat dengannya”, saat itu
Arunika dilema, akan menyerah atas Budi atau tetap meninggikan ego, sebab, ada
seorang kawan yang tak kalah menyukai Budi. Arunika tetap bekerja untuk
Komunitas Penggores Pena, bersama Budi, meskipun selalu mencoba agar Budi tak
selalu menghubunginya. Suatu ketika, seorang kawan itu berkata pada Arunika, “Arunika,
aku sudah tak percaya lagi padamu, kau tetap saja mendekati Budi, aku takkan
lagi percaya”. Maka, kala itu, Arunika dengan sedikit emosi berkata, “Oke. Jika
kau tak percaya itu, mulai tanggal 17 Juli, hari ini. Aku tak akan pernah
menjaga hatimu lagi. Tapi, perlu kau ketahui : aku ini batu, batu itu diam,
yang mendekat dan menjauh adalah Budi. Akan selalu aku berlaku seperti batu”.
Dunia
adalah sebuah bola bulat yang berputar, tak pernah berhenti. Begitupula perjalanan
hidup, tahun berlalu, hati masih orang yang sama. Begitu lekat seorang Budi
untuk seorang Arunika, ia kerap kali seperti pangeran yang mencintai tuan putri
: Arunika, ia pula seperti seorang serdadu yang tak kenal akan cinta. Selalu abu-abu,
sampai pada sebuah titik dimana Budi mengambil seorang wanita yang sedang dekat
dengan temannya sendiri : Dika. Arunika adalah seorang yang tak kalah sering berkisah
dengan Dika. “Arunika, kau tahu, aku sering pergi dengannya, mencoba mengambil
hatinya. Namun semua patah ketika Budi ku ketahui sudah ‘sayang-sayangan’
dengan wanita itu. Padahal ia tahu, aku menyukai wanita itu”, ujar Dika di
sebuah warung kopi ketika mereka mengerjakan sebuah tulisan untuk blog
komunitas. Ya, hari itu, runtuh hamparan langit biru yang Arunika buat untuk
kelak ia tunjukkan pada Budi.
Tahun
berlalu kembali, terlalu kencang jika dinamakan waktu. Budi masih sering kali
menemani hidup Arunika, ia masuk menjadi pemberi payung saat terik atau malah
menjadi kembang gula saat Arunika merasakan duka. Suatu ketika, banyak yang
bertanya, entah pada siapa, ya karena memang, Budi sama sekali tak pernah
menunjukkan seorang yang sedang ada di genggamannya. Sebuah hal yang lumrah,
namun, bukankah perlu pengakuan atas sebuah hubungan? Ah, Arunika sangat tidak
ingin tahu semua itu. Namun pada akhirnya ia akan tahu. Seperti ketika Budi
memandangi Arunika, “Dia mengajakku foto, Arunika?”, tatap Budi seolah meminta
izin pada Arunika. Arunika, tak dapat melarang Budi. Meskipun ia tak akan
sanggup melihatnya, ya itu salah satu dari rentetan tanda tanya yang Arunika
akan tanyakan pada Budi.
Sebuah
malam dimana Arunika bertekad akan mengakhiri banyak tanda tanya. “Arunika,
dimana? Aku sudah di parkiran masjid.”, tanya Budi. Arunika keluar dari masjid
menuju ke parkiran, tampak Budi melihatnya dari kejauhan. Mereka menuju
cafetaria, berkisah seperti yang selalu Budi lakukan, bahkan ketika Arunika
menangisi sebuah projek komunitas.
Arunika
dan Budi memesan kopi saring, sebab mereka yakin perbincangan akan sangat
panjang. Arunika membuka pembicaraan, mereka terhanyut seperti yang selalu
mereka lakukan. “Arunika, sejauh perjalanan kita, aku menganggap kau adalah
temanku, sahabatku, untuk jatuh ke rasa suka, sangat tidak mungkin”, ucap Budi
dengan tatapan yang sangat tajam, namun Arunika merasa tak yakin atas ucapan
Budi. Budi memang sudah tak bersama wanita yang ia ambil dari Dika. Tapi, Arunika,
malam itu, melangkahkan kakinya lebih jauh dari Budi. “Bud, dengan kau berkata
seperti itu, aku merasa sudah tidak bertanggungjawab untuk mengatakan sesuatu
padamu”. Arunika, akan berangkat ke Belanda untuk studi dan bertemu dengan
seorang yang akan menemani hidupnya hingga tua, Dandi, teman kecil Arunika,
sekaligus orang yang telah dijodohkan padanya. Arunika memilih bungkam.
Satu
minggu sebelum keberangkatan Arunika, Budi sudah tahu akan hal itu, entah dari
siapa. Budi membuat Arunika berang akan kelakuannya, hingga Arunika berkata “Kesal,
seringkali kesal padamu, tapi, jauh dari itu semua, masih ada yg lebih hebat
dari ‘kesal’, ujar Arunika. “Apa itu, Arunika?”, tanya Budi. “Sayang. Tak ada
seorang manusia yang tak sayang pada sahabatnya”, tegas Arunika. “Apakah iya? Maaf
kalau seutuhnya aku belum bisa mengubah energi itu seperti seorang sahabat”. Arunika
terdiam, tambah banyak tanda tanya yang timbul, ditambah sebuah puisi yang
dikirim Budi padanya.
Mereka
duduk semeja, untuk yang terakhir kalinya sebelum esok Arunika berangkat menuju
Belanda. “Aku tak pernah sama sekali sejujur ini, Arunika. Jika kau bertanya
lagi perihal perasaanku, iya, semua itu ada, meskipun hilang dan datang. Semua menjadi
sebuah kesatuan yang harus ku ucapkan, apalagi ketika kau pergi sejauh itu”,
tatap Budi, sangat dalam pada mata Arunika yang kian berair. “Bud, hanya untuk
kau tahu, aku telah kehilangan banyak hal hanya untuk bersamamu, aku menjadi
sosok yang sangat egois”, sesal Arunika pada dirinya sendiri, merasa paling
bodoh sebab membuat banyak orang tersakiti karena tetap menjadi “Batu” yang
diam ketika Budi mendekat. “Lalu, Bud, sejak kapan rasa itu ada?”, tanya
Arunika. “Jauh, sebelum aku bertemu dengannya”, ucap Budi dengan nada pelan. “Kenapa
kau malah bersama dia? Kenapa juga kau menyembunyikannya? Takut kehilangan
pengagum?”, Arunika mengalihkan pandang pada jalan raya yang kian sepi. “Aku
fikir ia lebih baik darimu. Aku tidak takut kehilangan apapun, Arunika. Aku hanya
menjaga karirku, aku juga turut menjaga hatimu”, jelas Budi. “Lalu, apakah dia
lebih baik?”. Mereka berdua hening.
“Bud,
aku izin, besok aku akan terbang jauh darimu, tak perlu lagi kita kisahkan
apapun, sebab bertemu adalah hal yang sangat tidak mungkin lagi, kau pernah
bilang memaksa untuk melupa merupakan sesuatu yang menyakitkan, maka jangan
paksakan”, ucap Arunika dengan tetesan tangis di matanya. “Arunika, aku suka
Bumi Manusia sebab kau, kisah ini seperti kisah Annelies dan Minke, sangat
menyakitkan. Kau, Annelies ku, jangan tinggalkan Minke ini ke Netherland,
tolonglah aku”, rajuk Budi dengan tatap sayunya. “Tidak, ini bukan kisah
Annelies dan Minke, sebab Minke memilih Annelies dan mencintainya tanpa ragu,
sedang kau ragu padaku. Tabik!”, tutup Arunika sembari melangkah pergi.
Budi,
menjadi orang yang tak kalah egois. Bahkan saat-saat Arunika akan pergi, ia
masih membuat Arunika berat langkah. Tak ingin ia kehilangan satu orangpun
dalam hidupnya, sebab ia jauh hari sudah kehilangan sosok penting dalam hidup. Potongan
puzzle itu, masih hilang dan belum ada yang dapat menggantikannya.
Arunika dan Budi terbangun dari mimpi yang sangat
panjang. Mereka terbangun dari mimpi di bawah pohon rindang dan seekor kelinci
yang melompati kaki mereka berulang kali. Mereka memimpikan hal yang sama,
semua itu terlihat nyata hingga Arunika pun masih menyeka air matanya. Budi memandangi
Arunika dan berkata di dalam hati :
“Arunika,
aku bukan pria bodoh di dalam mimpi itu, yang memilih orang lain sebab tak
yakin bahwa kau yang terbaik, lalu menjadi sosok yang egois menutupi sebuah
hubungan dan berniat menjaga hatimu. Menjaga
hatimu, bagiku adalah dengan tidak menjalin apapun selain denganmu. Tapi, aku
juga akan mengambil sedikit sikap dari pria bodoh itu, setidaknya bagiku, biar
aku simpan kau untuk aku di masa depan”.
Budi,
pria bermata coklat dan alis tebal itu, membuat hidup Arunika kian berwarna. Mengajari
arti kesederhanaan, Arunika tak henti berharap untuk bisa menghabiskan masa tua
dengannya. Budi, seorang yang membuat Arunika mencintai dirinya sendiri. Dari
banyak foto-foto semburat jingga yang Budi kirimkan pada Arunika setiap ia
berkelana, ia dan Budi kian sefrekuensi. “Bud, jangan kau jadi Budi yang sangat
bodoh dan egois seperti di mimpi itu, dan janjilah padaku, kau akan membawaku
ke tempat kelahiranmu kelak dengan kapal kayu itu, ILYA”, ucap Arunika sembari
menatap mata coklat Budi. “Apa itu ILYA, Arunika?”, tanya Budi dengan menaikkan
kedua alisnya. “Nantilah, akan ku kisahkan apa itu ILYA”, Arunika berjalan
meninggalkan Budi di bawah pohon rindang.
“Arunika!”,
panggil Budi. “Aku setuju padamu di mimpi itu. Aku setuju bahwa kisah ini bukan
kisah Annelies dan Minke, aku tak ingin berakhir tragis. Aku ingin berakhir
manis”, senyum Budi pada Arunika sembari melambaikan tangan.
Komentar
Posting Komentar