Langsung ke konten utama

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)



Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya.
Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam.
Hidup memang sebuah pilihan. Memilih menjadi pengecut yang berdiam diri di dalam rumah, atau menjadi penyuara yang lantang mengucapkan keinginan. Namun, akan lebih mengesankan jika memilih diam dalam kebenaran. Terlihat pecundang memang, namun bukankah membiarkan mulut-mulut itu berkoar menunjukkan keburukannya akan lebih baik ketimbang mengungkap keburukan orang lain dengan mulut sendiri. Kembali lagi, Arunika memilih diam. Meski kadang diam juga sebuah kesalahan. Arunika mengambil segelas air putih dan memakan sepotong roti pemberian kawannya, lapar membuat pemikirannya kian liar. Padahal perjuangan baru akan dimulai hari itu.
Buku yang akan ia jadikan referensi dalam penulisan tugas akhir sudah banyak terkumpul, namun ternyata nasib berkata lain. Seorang kawan yang ia pikir sangat setia, ia berikan semua buku tersebut untuk dijadikan alas dan dasar dalam perjuangan. Ia menghabiskan sore untuk berkeliling kota, mengemis sana dan sini, hanya untuk mencukupi kehidupan dan membantu seorang kawan lain yang sedang sekarat. Teman yang ia beri buku, ternyata membuat ia malah tertampar oleh isi-isi buku tersebut. Arunika dituduh seorang mafia penghancur sebuah sistem, padahal sang kawan lah sesungguhnya perusak sistem. Kawan yang sedang sekarat malah hidup dalam perjuangan, menghasilkan sifat diktator yang dikemudian waktu malah menjadi bumerang bagi Arunika. Hidup yang berat untuk seorang gadis yang sering dimanja.
Kesekian kalinya, Arunika menatap dalam sepasang bola mata yang mengetuk penglihatannya. Dari beberapa puluh pasang bola mata, hanya sepasang itu yang kerap menyapanya. Berjuang diantara para pejuang memanglah sangat berat ketimbang berjuang diantara para pemalas, oh tidak, tak ada satupun orang yang malas di bumi ini. Ia memejamkan matanya sembari menghirup udara segar, perjuangannya menuju gelar sarjana belum juga setengah jalan, ditambah harus berjuang untuk dilihat lagi dan lagi oleh orang yang ia kagumi. Permasalahan berat dan spele bertemu, namun permasalahan spele seperti hati malah mengobrak abrik otaknya.
Rangga, ucap seorang kawan ketika Arunika bertanya siapa nama pria bermata coklat yang sempat ia tatap dalam. Tak heran, petang, malam hingga pagi ia semakin membara dalam petualangannya kali itu. Semakin membuatnya tak ingin memakan waktu. Melupakan bebannya dalam menulis naskah krusial (skripsi), kawan yang diktator, dan kawan yang menusuk serta merejamnya.
Mengelilingi malam pekat dengan kesendirian, tak ada konflik dalam catatan ini. Hanya sebuah pengingat bahwa ketidaksadaran akan hilang ketika keinginan memiliki ada di diri seorang. Bahkan untuk momen kecil ketika dua pasang bola mata pertama kali saling menyapa. Arunika adalah sebuah gambaran seorang yang sangat ingin meraih sesosok Rangga yang sebetulnya tak akan pernah ia raih. Arunika juga seorang yang bertahan dalam kemunafikan sosok-sosok keji hanya karena seorang Rangga yang membuatnya berpikir bahwa didekat orang hebat kau harus mampu bertahan meski tak dianggap ada.
Beberapa hari ia disampahkan, tak pernah ia merasa sesampah itu. Naskah krusialnya dicoret-coret oleh okum bermuka seribu, salah satu kawan seperjuangan pun tak jauh bejatnya. Persetan dengan sebuah kesabaran, amarah tumpah dan ia teriakkan pada langit. Biarlah, muak dan mual yang tersisa ia muntahkan satu persatu kepada rezim diktator. Semakin muak lagi ketika melihat rupiah mulai tak bernilai. Mau sampai kapan? Jika muda mudi berteriak tentang reformasi, berteriak negara ini negara demokrasi, namun pada wadah-wadah kecil saja tiang dan penopangnya hancur dan amburadul. Para diktator-diktator muda mulai memimpin. Tak mau disalahkan, tak mau dikritik, tak mau menghargai kepala-kepala lain. Matilah negara ini jika diktator unyil semakin merajalela, bertopengkan kebaikan pada yang mengiyakan. Bermuka setan pada yang mentidakkan.
Waktu semakin berlalu, kepusingan yang ia telan adalah hasil dari sebuah pilihan. Menjadi pecundang atau disampahkan. Raih, ucap Rangga padanya ketika dua belah tangan Rangga untuk pertama kali bertemu dengan tangan Arunika yang mendingin. Matanya kembali sayu, setelah tersenyum beberapa kali. Hal yang paling ia benci adalah sebuah kata selamat tinggal. Tak sempat terucap aku ingin bertemu lagi, angin malah membawa Rangga pergi. Seorang yang sama-sama sering disampahkan, saling jatuh cinta, namun kembali menelan jarak. Menyulitkan, namun itulah kenyataan. Pada senyum sumbringah Rangga ketika ia berlalu, selip pilu tak mampu jua ia tepiskan. Mereka saling rasa.
Sepotong surat tanpa bungkus yang Rangga titipkan lewat seorang anak kecil di rumah tempatnya menginap sudah sampai pada Arunika. Isinya adalah :
“Arunika, apabila ada seorang yang melihat matamu ribuan kali dalam beberapa hari itu adalah aku. Apabila ada seorang yang meneriakkan kata Juang pada telingamu suatu saat nanti, itu adalah aku. Namun apabila ada seorang yang pergi jauh itu bukan aku. Itu adalah simpul masa depan yang masih belum benar terikat. Kita akan bertemu dalam satu waktu, disatu kesempatan. Kali ini tuhan mengirimku untuk menjadikanmu sebuah berlian disaat semua menganggapmu sampah”.
Arunika tetap disampahkan, namun yang ia sadari sesampah apapun seseorang diperlakukan pasti akan ada seorang yang menganggap orang tersebut semesta. Tak terkecuali yang Rangga lakukan padanya. Rangga, pria antah berantah yang tiba-tiba saja hadir dan mengisi kekosongan hari. Membuatnya ingin kembali meraih sebuah kemenangan, meskipun berkali-kali disampahkan.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer