Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Beberapa yang Tak Terucap

  Sore itu, rindu Sebaris kalimat darimu adalah udara Dengan kebenaran, ciptaanmu Aku risau, kata itu selalu melayang Sebab yang pasti adalah sore Tanpa  seluruh keindahannya Yang indah sedang tak disini Kala itu, ku suka kabar burung Katanya kau akan berlabuh disini Sebab katanya kau suka apel Lalu yang merah adalah aku Namun kau, gitar itu, bandana itu Pasir itu, ombak itu, waktu itu Aku melihat kau ingin yang hijau Lalu, sore itu, tak ada kau, mendung Yang ada aku dan dia dan dia Apa masih ingin hijau? Jika iya, Jika tidak, Ah, terserah saja Yang pasti, sore itu Mereka menelan mendung Namun tak mampu melahap rindu

Arunika : Keadilan untuk Adilla

            Sabtu malam di tempat Arunika bernaung, tak ada bedanya dengan kota mu. Tetap sesak dipenuhi manusia yang menganggap malam itu adalah malam yang penting. Arunika bukan salah satunya, dibuktikan dengan ia yang duduk dan menatap layar laptop untuk menulis sebuah cerpen yang biasanya diupload seminggu sekali di website Komunitas Penggores Pena. Pikiran Arunika tengah buntu, entah karena kejadian hari rabu yang menyebabkan Budi di boyong ke sektor kota, lalu hati Arunika patah karena Budi lebih membimbangkan orang lain ketimbang dirinya sendiri atau karena teringat tugas-tugas kuliah yang mulai tak tersentuh. Arunika tengah bimbang, tak tau arah, kelam kabut.             Dalam riuhnya bunyi knalpot motor yang sering lalu lalang, Jingga datang dengan membawa sekotak terang bulan rasa keju coklat, kesukaan Arunika. Sahabat Arunika sejak di bangku sekolah itu memang selalu paham keinginan Arunika.             “Arunika, tumben otakmu macet ketika kau menulis? Padahal sudah k

Kelam Kabut

Pada dua pagi yang mengikat satu malam itu Hingga tiga dan empat kali berulang Tak ku temui aku dalam diriku Aku lenyap dari inti diri Tak terdengar nada dan suara Sahuleka Tak tercium aroma arak dalam cawan kaca Dalam diriku, aku hilang Berantakan dan cerai berai Merebak dan meregah tubuh diriku itu Kepala serta mata menatap perempuan Cheran Hati serta tangan memangku bocah Mozambik Kemudian yang lain terusir, entah kemana Dalam diriku, aku habis, kering Dalam diriku, aku limbung, tak seimbang, tak harmonis Sedemikian rupanya saat aku pergi Meninggalkan diri yang cemas dan kelam kabut Bukan karena asmara atau manusia lainnya Bukan pula karena ruang yang penuh carut marut Sebab akulah sebenarnya yang berengsek dan nanar itu Aku ialah karena itu Redalah diriku, hening dan tenanglah Jika tiba waktunya, aku akan lekas pulang Membawa diriku, pada kamar yang kita mau Berbunga, semerbak dan tak hanya kita yang tinggal

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Arunika : Terbit dari Diri Sendiri

              Perkenalkan, namanya Arunika. Sebuah nama yang cukup indah, kata orang nama ini seperti nama tokoh di buku Fiersa Besari. Namun, boro-boro membaca bukunya, kenal orangnya saja tidak. Arunika seorang mahasiswa jurusan eksak, kuliah bertemu Fisika, Kimia, Biologi. Lebih parahnya juga bertemu dengan Statistika, mata kuliah milik salah satu prodi yang sempat ia impikan yaitu Pendidikan Matematika. Semesternya sudah kepalang tanggung, ingin pergi sudah setengah jalan, lanjut penuh kebingungan. Mimpinya menjadi Rektor Universitas, sekaligus bergelar Profesor. Tak tanggung-tanggung memang mimpi itu, namun mengejarnya juga butuh berjuta semangat dan kerja keras. Jurusan yang ia jalani sekarang bukan pilihan orang tua, bukan ikut-ikut teman, atau bahkan salah jurusan. Sadar tak sadar ini adalah pilihan pribadi yang sebetulnya didasari oleh pertimbangan-pertimbangan.             Sebagai seorang pemimpi yang ulung, ia sering menulis segala mimpi dalam secarik kertas. Alih-a