Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Arunika : Bukan Annelies dan Minke

              Satu bulan berlalu, Arunika dan Budi tidak bertemu satu sama lain. Terakhir, Budi berjanji akan menemui Arunika di sebuah bukit sekitar 172 kilometer dari pusat kota. Mereka akan bertemu dan Budi akan membawa Arunika ke sebuah perjalanan waktu, Arunika hanya tertawa ketika membaca pesan singkat Budi. Sejak kapan cerita ini menjadi cerita fantasi?             Sore telah menyambut Arunika ketika ia berada di puncak bukit tersebut, syukurlah ia sampai ketika sore karena bukit itu malah seperti bukit teletubbis dimana hanya ada satu pohon tepat di puncaknya, sisanya hanya rerumputan semata kaki. “Hai Arunika!” teriak Budi dengan suara yang menggema. “Kita akan kemana, Bud?” Tanya Arunika ketika Budi sudah duduk disebelahnya. Budi mengajak Arunika menuju sebuah lubang di akar pohon tunggal di bukit tersebut. Mereka ditarik oleh sebuah kekuatan yang membuat tubuh mereka terasa sangat aneh. Setelah rasa aneh yang sangat luar biasa itu, terasa hawa segar yang membuat Arunika

Kita, Simbol Egoisme

(Sumber Foto : Instagram @buditjahjana) Kita adalah lambang dahaga Tak ingin tunduk pada seorangpun Langkah yang kian menjauh Kau dan aku, begitulah Kau adalah simbol luka paling dalam Yang tak pernah tersembuhkan Lalu, katanya, apa tak lelah? Pada luka yang sama, terus menerus Tidak, luka itu, bahkan sakit itu Entah karenamu, entah karena siapapun Akan sembuh, mengering, menghilang Sebab, kau adalah obat dari segalanya Kita adalah simbol egoisme Aku telah mematahkan harapan Kau telah menyembunyikan Lalu, ku tanya, sekali ini saja Apakah kau baik-baik saja? Aku dan egoku, bertanya padamu Kali ini, izinkan aku memujimu Dari seribu satu racunmu Entah itu menyembunyikan Entah itu menjaga hati Mataku, tak kau izinkan melihat Telingaku, tak kau izinkan mendengar Namun, karena itu, aku dan egoku Ingin selalu menjadi juara pertama Apakah itu aku? Lalu, aku sedang payah, patah Mengapa kau masih obat itu?

Arunika : Gelap yang Menemukan Terang

“Bud, aku sedang tak baik-baik saja”, ujar Arunika pada Budi di suatu hari. Lalu hari tersebut Budi habiskan untuk menemani Arunika mengelilingi kota. Ya, kota ini tempat pertama kali Arunika mengenal Budi. Kota yang kelak akan menjadi saksi, sebuah perpisahan atau sebuah keselarasan. Sungai yang panjang itu mereka telusuri berdua, melewati sebuah water front dengan lukisan corak insang. Sungai yang mereka tahu bahwa Wiji Thukul pernah bersenda dengan temannya beberapa bulan sebelum dinyatakan hilang sampai saat ini, ah Kapuas, sungai yang tak kalah panjang dari perjalanan hidup mereka. Budi dan Arunika duduk di sebuah gazebo yang menghadap langsung pada Sungai Kapuas dan Masjid Jami’, “Kau tahu Bud, terakhir aku tak bisa beranjak dari kota ini adalah sebab seorang yang adzannya tak kalah merdu dibanding muadzin di masjid itu. Namanya tak jauh beda dengan namamu”. Mata Arunika berkaca-kaca, begitu mereka berdua bergantian membuat Arunika bahagia berturut-turut. “Tahu kah kau,

Arunika : Samar

            Hujan bulan oktober, bukan sebuah keanehan. Rintik-rintiknya menjadi ujaran syukur banyak orang meskipun ada yang gusar sebab kota ini tak dirancang untuk menahan limpahan air yang berlebih. 2 – 3 mdpl, banjir dimana-mana tak terkecuali di hati Arunika. Budi melaju membawa motor kesayangannya untuk melihat sebuah pameran di tengah kota. Licinnya jalan raya setelah diguyur hujan, macet sebab banyak jalan yang digenangi air hingga 30 cm membuat Budi sejenak kehilangan konsentrasi dan tak melihat ada mobil yang kehilangan kendali. “Brakkkkkkk”, suara dentuman yang cukup membuat orang-orang yang berlalu lalang di trotoar bahkan semua pengendara terkejut. Budi, dengan motornya ditabrak oleh mobil yang melaju tanpa perhitungan. “Arunika? Kau dimana? Budi, sekarang di rumah sakit!”, ujar sepotong suara di line telepon. Saat itu juga, jantung Arunika berdegup sangat kencang, antara bimbang, takut dan pastinya sedih. Ia menangis sebab tak tahu mau berbuat apa, sudah tengah

Senja Berkabut

  Kau sedang sesak dalam peraduan Tak ada satupun yang mengenggam Mengenggam cahaya seperti dulu Semburat jingga yang kian redup Sore itu, senja berkabut Nikmat haru yang akhirnya ku lahap Bersama, ingin ku tepis ragu Lalu kedua satria saling menyatu Kau titik-titik tanpa akhir Pesona kian terhalang pekat Di suatu sore tanpa genggamanku Aku hidup, terasa mati, bila kau sesak Kita adalah yang tak terucap itu Di dalam sebuah buku yang kau karang Kita adalah yang tak bertepuk itu Di dalam angan dan kebisuanku Sedang kau adalah juara pertamaku

Arunika : Kala Termakan oleh Waktu

Enam tiga puluh, pagi itu Arunika sudah memasuki babak baru yang pastinya dalam jangka waktu yang cukup lama ia takkan menjumpai Budi yang selalu jadi pemeran utama dalam hidupnya. Akan ada pemeran utama baru yang menjumpai harinya sejak senin hingga bertemu senin lainnya. Tinggi badan 163 cm dengan postur tubuh yang berisi dan senyum yang membuat orang lain terpana, Kala. Begitulah Arunika memanggil namanya, seorang yang Arogan. Jarang tersenyum apalagi menyapa, namun jika tersenyum akan membuat orang-orang sekitarnya terkagum. Waktu pun dapat terhenti karenanya, mungkin itu juga sebab Arunika memanggilnya “Kala”.             Kala adalah seorang direksi muda yang saat itu juga tengah mengikuti kegiatan Pengabdian Masyarakat bersama Arunika. Tak jelas juga apa motif seorang Kala dikirim ke pelosok Kalimantan, berbeda dengan Arunika yang memang mendaftarkan dirinya sebab Arunika memang sangat suka bermasyarakat ketimbang menjadi seorang yang menyendiri di dalam kamarnya.        

Arunika : Deja Vu

            Sabtu pagi dengan semangat weekend sudah membumbung tinggi dalam hati Arunika. Tugas negara sudah selesai. Budi masih mengawang-ngawang di pikiran. Budi, ya nama yang kerap kali mengisi kisah Arunika. Seorang aktivis, yang sekarang juga menjadi jurnalis, si bijaksana dan selalu terlihat sabar. Tak lupa dengan sedikit lugu dan pesonanya sehingga bukan hanya Arunika, banyak wanita lain dari fans K-pop sampai penyuka kucing pun juga mengaguminya sejak awal berjumpa. Ah dasar, Bucin, ungkap Arunika ketika melihat beberapa wanita mendekati Budi dan mengajaknya ngopi. Padahal belum tentu wanita itu mengagumi Budi, tapi yang pasti mereka mencari kesempatan.             “Beuh, banyak bangetttt Bucin disini” ujar Arunika pada Budi. “Bucin? Mereka? Bucinnya siapa?” Budi masih tidak mengerti bahwa Arunika tengah menyikutnya. “Itu mereka, Bucin, Budi Cintaku. Hahahaha”. Arunika tertawa sembari menarik buku Bumi Manusia yang ada di genggaman Budi. “Bud, aku pulang dulu ya, aku

Beberapa yang Tak Terucap

  Sore itu, rindu Sebaris kalimat darimu adalah udara Dengan kebenaran, ciptaanmu Aku risau, kata itu selalu melayang Sebab yang pasti adalah sore Tanpa  seluruh keindahannya Yang indah sedang tak disini Kala itu, ku suka kabar burung Katanya kau akan berlabuh disini Sebab katanya kau suka apel Lalu yang merah adalah aku Namun kau, gitar itu, bandana itu Pasir itu, ombak itu, waktu itu Aku melihat kau ingin yang hijau Lalu, sore itu, tak ada kau, mendung Yang ada aku dan dia dan dia Apa masih ingin hijau? Jika iya, Jika tidak, Ah, terserah saja Yang pasti, sore itu Mereka menelan mendung Namun tak mampu melahap rindu