Langsung ke konten utama

Lima Huruf


Duhai bintang
Kau yang tampak gemilang
Kau yang selalu benderang
Walau hatimu terkekang

Duhai bintang
Kau temaniku berdendang
Kau buat hatiku senang
Walau jiwamu tak tenang

Aku kan menanti
Menunggumu hingga pagi
Atau aku yang menjambangi
Menemuimu di ujung pelangi

Aku kan bernyanyi
Melantunkan lagu sunyi
Di tepi sinar mentari
Berteman hembusan sepi

Oh indahnya cinta
Penuhi hati sang hawa
Walau diiring derita
Dan tak tau berakhir dimana

Oh pilunya rindu
Tak semerdu alunan syahdu
Namun selalu berbuah candu
Dan rasa ingin bertemu


📝 Winna Adelina
21 November 2016

Apalah arti lima huruf itu jika hanya bisa ku kenang. Sebagai lima huruf yang selalu merasuki kepalaku. Yang membuatku selalu teringat sosoknya ketika lima huruf itu tertulis di antara bait kata yang diucap temanku atau yang tak sering ku baca di sela-sela pesan singkat mereka.
Ini bukan hanya sebuah rangkaian cerita yang hanya bagian dari mimpi atau khayalan, semua ini nyata. Bahkan bagaikan setitik awan kecil yang selalu terabaikan, tetapi rasa itu nyata. Aku hanya diam dan menyimpannya di bagian terakhir buku catatanku. Bukan untuk ku lupakan, tetapi untuk ku baca di sela waktu sibukku. Untuk ku baca ketika aku merasa bosan dengan hari-hariku. Ya, benar. Orang yang selalu aku fikirkan adalah orang yang namanya ada di lembar terakhir buku catatanku.
Dan pasal pertemuan itu, aku mungkin hanya berfikir kalau janji itu hanya kalimat penenang. Tidak begitu dengan janjiku, aku akan menepatinya di saat aku telah sanggup melakukannya. Aku akan selalu mengingat yang pernah aku katakan padamu, tentang rindu itu, bahkan tentang suka itu. Semua nyata, bukan hanya kata-kata penenang atau gurauan bocah kesepian. Sungguh, kala itu aku sedang tak kesepian. Aku bahkan disirami cinta yang begitu banyak, aku hanya merasa aku senang bersamamu, mendengar suaramu, bahkan aku rindu pada sesuatu yang tak pernah aku temui sebelumya.
Jadilah seorang yang selalu tegar dalam melangkah, walaupun Tuhan sedang mengujimu sekarang. Aku pun selalu di uji. Tetapi aku menguatkanmu terlebih dulu. Memang salahku, mendahului orang lain ketimbang masalah yang menimpaku. Tapi begitulah aku ketika jatuh hati. Bahkan urusanku tak penting, yang terpenting kau tenang yang terpenting kau melupakan sejenak masalahmu.
Berjanjilah bahwa kau takkan mengingkari janji yang satu ini, berjanji bahwa kau takkan jatuh hati pada hati yang akan meninggalkanmu pada akhirnya. Yang menyerah padamu hanya karena sekarang kau bukan siapa-siapa. Dan berjanjilah bahwa kau akan menjadi seorang yang sangat hebat pada suatu hari nanti dan kau akan mengingatku walau sedetik. Mengingat bait-bait luka ini walaupun sebersit. Aku mencintaimu, dengan lima huruf yang takkan menggoyahkanku, dengan lima huruf yang takkan merubah cintaku, dengan lima huruf yang selalu berterbangan di kepalaku. Aku mencintaimu, aku tau cintaku lebih panjang dari umurku.
Terima kasih karena sudah pernah ada. Semoga kita bertemu di kehidupan selanjutnya. Dan aku berharap kau telah menepati janji itu. Aku akan selalu merindukanmu, jika di kehidupan itu kita takkan bisa bertemu seperti kehidupan sebelumnya, aku tau disisi hatiku masih ada lima huruf itu.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem