Langsung ke konten utama

Seratus Empat Puluh Delapan


Mungkin.
Butuh bertahun lamanya tuk buat kakimu berlutut.
Walaupun tak berat bagimu tuk bersujud.

Kini, cukup kaki kecil ini melangkah.
Mendekati bahkan mengikuti.
Menemanimu dalam diam melihatmu dalam sepi.
Toh, awan tak perlu kata tuk melindungimu dari panas mentari.
Begitu pula aku.

Kini, izinkan kakiku berpijak.
Pada satu titik dimana matamu tak mampu mengelak.
Atau pada tempat dimana jiwamu tak bisa bergerak.
Toh, udara yg selalu kau hirup tak perlu isyarat tuk buatmu bernafas.
Begitu pula aku.

Kini, biarkan kaki ini berhenti.
Pada satu titik yg kau namai hati.
Tempat dimana jika ku pergi maka jiwamu mati.
Hingga tanpaku hidupmu sepi.
Toh, tanah tak perlu pamrih ketika kau jadikan ia tempat menanam kehidupan.
Begitu pula aku.

Memang.
Butuh seratus empat puluh delapan hari tuk buatku mengerti.
Butuh seratus empat puluh delapan hari tuk buatku mengakui.
Dan akan butuh beratus-ratus hari tuk buatmu menyadari.

Trans AD, 2 Mei 2017

Tak perlu sejuta mata tahu bahwa kau mengaguminya. Tak butuh beribu kata untuk mengungkapkan. Cukup dalam kebisuan, dalam keheningan. Dan untuk mengakui bahwa kau jatuh cinta, bukan semudah mengakui bahwa kau suka. Atau menyadari bahwa hanya dia yang kau fikirkan saat kau menutup mata di malam hari dan membuka mata kala fajar membuka hari. Walaupun baginya mudah untuk bersujud pada Tuhan, tapi sangat sulit untuk membuat ia berlutut untukmu. Sebaik-baiknya jatuh cinta adalah ketika kau melakukan segalanya untuk dia, tetapi tanpa sekalipun kau berharap dia mengetahui atau membalasnya. Kini biarkan keheningan dan tatapan penuh makna yang membuatnya sadar bahwa kau menyimpan sejuta cinta untuknya dan bahwa kau tak hanya ingin memilikinya tetapi selalu berada di dekatnya. Untuk seratus empat puluh delapan hari, akhirnya kuakui aku jatuh cinta pada ia yang kembali buat nadaku bergema.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem