Langsung ke konten utama

Arunika : Kala Termakan oleh Waktu


Enam tiga puluh, pagi itu Arunika sudah memasuki babak baru yang pastinya dalam jangka waktu yang cukup lama ia takkan menjumpai Budi yang selalu jadi pemeran utama dalam hidupnya. Akan ada pemeran utama baru yang menjumpai harinya sejak senin hingga bertemu senin lainnya. Tinggi badan 163 cm dengan postur tubuh yang berisi dan senyum yang membuat orang lain terpana, Kala. Begitulah Arunika memanggil namanya, seorang yang Arogan. Jarang tersenyum apalagi menyapa, namun jika tersenyum akan membuat orang-orang sekitarnya terkagum. Waktu pun dapat terhenti karenanya, mungkin itu juga sebab Arunika memanggilnya “Kala”.
            Kala adalah seorang direksi muda yang saat itu juga tengah mengikuti kegiatan Pengabdian Masyarakat bersama Arunika. Tak jelas juga apa motif seorang Kala dikirim ke pelosok Kalimantan, berbeda dengan Arunika yang memang mendaftarkan dirinya sebab Arunika memang sangat suka bermasyarakat ketimbang menjadi seorang yang menyendiri di dalam kamarnya.
            Kala, sudah jadi perbincangan bahkan sebelum Arunika tiba di Tanah Borneo. Kata seorang kawan, Kala adalah pemimpin muda yang bijaksana, tegas, dan disegani. Kata seorang lainnya, Kala adalah seorang yang belum menemukan paginya, entah pagi seperti apa yang dimaksud orang-orang tersebut. Dan kata Arunika, Kala adalah sebuah buku yang ada di etalase, entah dapat dibaca atau tidak, namun selembar demi selembar ia buka dirinya sendiri pada siapapun, meskipun hanya selembar dalam kurun waktu ratusan jam, meskipun hanya ketika ia ingin dibaca.
            Minggu pagi, langit sedang indah-indahnya, Arunika bertemu dengan Arunika lainnya yang menebarkan warna jingga di pagi hari. Hidup akan baik saja, ujar Arunika pada dirinnya sendiri. Embun menyejukkan dedaunan di Desa Belian, para peserta pengabdian tengah bersiap untuk mandi pagi di gertak berbahan kayu belian. Beberapa peserta pengabdian lainnya juga tengah mempersiapkan diri untuk agenda hari ini, memasak, mempersiapkan bahan-bahan kompos untuk disimulasikan pada petani, merapikan buku-buku dongeng untuk dibaca anak-anak. Arunika bahkan sudah mandi sejak langit masih gelap, ia selalu bersiap lebih awal sebab langit pagi tidak boleh dilewatkan begitu saja.
“Arunika, anak-anak yang kemarin kau bacakan dongeng sudah berkumpul di base camp, katanya mereka sedang menunggumu. Ah, akan kau kasi dongeng apa mereka sampai rela pagi-pagi ke base camp?” ujar Rendi sembari membawa gayung berisi perlengkapan mandi. “Mereka ku beri dongeng tentang seorang pria yang malas mandi pagi, bawa peralatan mandi hanya untuk pajangan ha ha ha”, ejek Arunika pada Rendi yang apabila dia mandi dan tidak mandi sama saja perawakannya. “Ah, kau Arunika. Jangan lama-lama, Kala yang tengah meladeni anak-anak itu, lama kau datang, sudah nangis semuanya dimakan si Kala”, Rendi mengibaskan handuknya pada bahu Arunika dan melajur ke gertak belian untuk mandi pagi.
Dari kejauhan di aula base camp, duduk seorang pria arogan tapi dengan wajah yang sumbringah dan ceria, Kala dikelilingi anak-anak dengan umur kisaran 4 – 6 tahun, semuanya terpaku pada pendongeng yang dilihat-lihat manis dan penyayang. Arunika mengisi sebuah ruang kosong dilingkaran tersebut dan melihat kecakapan Kala menyampaikan cerita. Semua yang mendengarkan dongeng terkesima oleh penyampaian Kala, tak terkecuali Arunika. Kala menutup dongengnya dengan puisi yang tak Arunika tahu ditulis oleh siapa :

Orang-orang membenci waktu
Sebab memakan kebahagiaan, memakan kenangan
Helai demi helai daun gugur oleh waktu
Muda menjadi tua oleh waktu
Hidup menjadi mati oleh waktu
Namun, tak ada yang sadar bahwa
Sengsara jadi bahagia
Tangis jadi tawa
Oleh waktu

Setelah beberapa saat terkesima oleh seorang Kala, anak-anak mengalihkan pandangannya pada Arunika, kakak pendongeng yang tak kalah membuat mereka terkesima. Ada yang meminta untuk mereka berdua membacakan dongeng bersama, ada pula yang meminta mereka untuk membacakan puisi. Arunika, masih tak tau bagaimana cara membaca Kala. Ia hanya bertanya beberapa pertanyaan umum, padahal sebenarnya ia ingin banyak sekali bertanya pada Kala. Tentang apa saja yang ia sukai dari sastra, siapa saja yang ia kagumi, buku apa saja yang sudah ia baca. Namun, pertanyaan itu hanya melayang-layang di kepala Arunika, tak tereksekusi satupun.
            Disela sebuah perbincangan, Kala berkata pada Arunika. “Arunika, tau kah kau? Lebih enak bekerja sesuai hobi kita, kau takkan merasa sedikitpun penat, kau akan melahap pekerjaan itu sesukamu, sebab itu hobimu”. Arunika hanya terdiam, ingin sekali ia berkata pada Kala bahwa itu adalah sebuah prinsip yang sudah sejak lama Arunika genggam, bekerja sesuai hobi adalah hal yang menyenangkan. Tapi, bercakap dengan seorang yang sehobi jauh lebih menyenangkan, apalagi dapat berkolaborasi dalam karya. Arunika masih tak dapat berkata-kata sebab ia tak menyangka seorang seperti Kala adalah sosok yang puitis.
            “Nilai Bahasa Indonesia-mu berapa, Arunika?”, tanya Kala pada Arunika yang masih saja terdiam entah speechless atau memang benar-benar sedang terkagum. “Ah, nilai Bahasa Indonesiaku B, lumayanlah, tapi nilai Sastraku bagus. Aku suka sastra.” Tambah Kala. Bertambah lagi pertanyaan di kepala Arunika tentang seorang Kala yang arogan dan kian misterius, semakin ingin Arunika mengetahui tentang-nya, tentang seorang Kala, yang ternyata memiliki hobi yang sama. Bertemu seorang yang sehobi ibaratkan bertemu dengan diri sendiri di sosok orang lain. Ketika seorang arogan menyukai sastra apakah akan luntur arogan itu?



            Sore di bulan Juni, memang terasa sangat panas sebab hujan masih belum mau menunjukkan dirinya pada siapapun di Desa Belian. Kala kembali menjadi dirinya, apalah guna ikut dalam kegiatan masyarakat jika ia masih saja tak mau menyampingkan sikap arogannya itu. Sore itu, Kala berbicara bahwa ia sangat suka sistem di tempat ia memimpin. Seorang yang memimpin memiliki kasta yang sangat berbeda dengan pekerjanya. Mengantarkan minumanpun harus berlutut-lutut, merunduk-runduk, ah masih ada penjajahan di saat bendera Merah Putih berkibar bebas dari Sabang sampai Merauke. Malah saat ini pribumi menjajah dirinya sendiri. Arunika tak setuju, dan mengungkapkan bahwa Kala tak seharusnya membawa sistem kolonialisme pada pekerjanya di zaman kemerdekaan ini.
            “Kala, menurutku kau belum berkenalan dengan pram! Otakmu penuh dengan sistem kolonialisme, bukankah humanisme yang seharusnya kau junjung? Jika kau bisa mengubah caramu memimpin, aku takkan segan menyebut-nyebutmu sebagai sesosok yang menginspirasiku. Manusia di dunia ini satu garis lurus, tak ada bedanya, tak boleh ada yang merunduk-runduk, berlutut atau bahkan bersujud pada manusia lainnya. Meskipun yang satu makan nasi kecap, yang satu makan nasi ayam”, tampar Arunika, telak, di sudut pikiran Kala.
            “Ah, Arunika. Kau sama dengan ibuku. Ia pencinta Pram, ia saja heran kenapa seorang anak yang ia besarkan dengan nilai-nilai kemanusiaan bisa menjadi seorang kompeni untuk bangsanya sendiri, itulah sebab aku disini”, terang Kala pada Arunika. “Arunika, kau takkan tahu rasanya apabila kau belum merasakan duduk di bangku empuk sepertiku, idealisme yang ku teriakkan ketika di bangku kuliah, tak ku toleh sedikitpun ketika sudah bekerja. Itulah sebabnya aku sempat menyindirmu ketika ku lihat fotomu memegang toa”, tambah Kala sembari menghembuskan asap dari rokok daun yang ia dapat dari seorang kakek tua pengayuh sampan. Kala beranjak dari tempat duduknya, berlalu dengan wajah arogan seperti biasanya.
            “Hah! Mati saja kau Kala. Pemikiranmu sama kolotnya dengan kompeni yang sudah membusuk menjadi gambut di Danau Sentarum sana!”, ucap Arunika saat Kala sudah menghilang dari pandangan. “Arunika!”, panggil seorang yang tengah duduk di bawah pohon sukun. Ia memegang komik naruto yang sudah sedikit usang, namun masih terlihat jelas rambut kuning naruto yang mengembang seperti rambut singa. Arunika berjalan mendekati orang itu, Sarah namanya. Salah satu mahasiswi dari pulau Jawa, Sarah adalah orang yang sangat Ramah. Biasanya diwaktu luang anak-anak di Desa Belian diceritakannya kisah naruto. “Ada apa antara kau dan Kala? Terlihat serius saja pembahasan kalian?” tanya Sarah pada Arunika. “Tapi sudahlah, hanya ada dua kemungkinan, kau akan termakan waktu atau kau yang memakan waktu. Dari yang kulihat, Kala akan termakan olehmu”. Arunika hanya tersenyum dan kembali ke base camp. Sarah bagaikan cenayang, benar atau tidaknya hanya Tuhan yang tahu.

            Waktu berlalu dengan sangat cepat, Kala dan Arunika yang termakan oleh waktu atau memang karena ada keduanya waktu segera melaju. Arunika menaikkan barang bawaannya ke pick-up biru sedangkan anak-anak kacil para penikmat dongeng Arunika tengah bekaca-kaca, tak tahu harus bagaimana, menahan tak mampu, melepas tak bisa. Kala sudah duduk di kursi Bus paling depan dan sesekali menatap Arunika. Arunika mendapat mata Kala yang tertuju padanya, untuk yang kesekian kali. Arunika memang menyukai hangat dan manisnya rangkulan masyarakat makanya ia sangat suka kegiatan Pengabdian Masyarakat, tapi disisi lain ia tak suka perpisahan. Meskipun itulah risiko dari pertemuan.
            Seorang anak kecil berumur 6 tahun yang Arunika sering panggil “Mas Al” sebab ia satu-satunya orang Jawa diantara puluhan anak kecil, ia menyodorkan buku Rumah Kaca-nya Pramoedya Ananta Toer, dan berkata pada Arunika “Mba, ini aku dititipin Mas Minke. Katanya kasi ke Mba Arunika saat Mba udah mau pulang. Mba baca bukunya yaa, aku juga dikasi buku yang mirip, tapi judulnya Bumi Manusia”. “Mas Minke? Siapa itu?”, tanya Arunika. “Itu lho Mba, yang biasa bacain kami cerita saat gaada Mba, dia suka bacain buku ini (Bumi Manusia), jadi kami manggilnya Mas Minke. Jaga diri baik-baik yaa Mba Arunika”, tutup Mas Al sembari memeluk Arunika.
            Arunika masuk ke dalam bus yang berbeda dengan Kala dengan pikiran yang menerka-nerka “Mungkinkah si Kala yang membacakan Bumi Manusia pada mereka? Tapi kisah seberat itu ia jejalkan ke anak-anak? Bagaimana bisa?”, sembari membuka buku yang dititip kepada Mas Al. Ada secarik kertas dengan tulisan yang cukup rapi, begini isinya :
“Arunika, senang sekali aku, dibelantara ini, bisa bertemu seorang yang sejalur denganku. Disaat banyak orang yang tak menoleh pada puisi dan tulisanku, ada seorang yang malah menginginkan aku selalu menulis. Biarlah aku dan aroganku ini, aku hanya menuruti kalimat ibuku ketika aku sempat tak ingin ke Borneo ini, ‘Ibu tak pernah meminta apapun padamu sebelumnya, tapi untuk mengabulkan satu permintaan Ibu saja kau tak mau?’, sebabnya lah aku disini, bermasyarakat, menghargai orang lain. Tahu kah kau Arunika? Dalam setiap tatap yang aku kirimkan padamu, banyak yang ingin aku ceritakan padamu, tanpa kau bertanya, tanpa kau meminta. Jika aku lebih tahu bahwa kau menyukai sastra, mungkin kita bisa menulis bersama saat itu. Aku memang arogan, bahkan dalam kurun waktu tiga bulan pun aku tak bisa seutuhnya berbaur dengan orang-orang yang memiliki strata kehidupan dibawahku, sangat berbeda denganmu yang dengan mudah mengambil hati semua orang. Tapi, dengan beberapa kali bertukar pikiran denganmu, aku sudah dapat menurunkan egoku, gengsiku, arogansiku. Aku sudah membaca tetralogi, berulang kali. Aku benci kolonialisme, akupun sejujurnya tak ingin menjadi kompeni untuk bangsaku. Tapi, kau akan tahu dilematika ini ketika kau sudah berada di dunia kerja. Semoga kita dapat bertemu di lain waktu. Tabik.”
“Kala, ternyata kita sama-sama termakan oleh waktu. Setidaknya kita sudah pernah bercakap soal sastra, sesadar-sadarnya, sewaras-warasnya”.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem