Langsung ke konten utama

Arunika : Samar




            Hujan bulan oktober, bukan sebuah keanehan. Rintik-rintiknya menjadi ujaran syukur banyak orang meskipun ada yang gusar sebab kota ini tak dirancang untuk menahan limpahan air yang berlebih. 2 – 3 mdpl, banjir dimana-mana tak terkecuali di hati Arunika. Budi melaju membawa motor kesayangannya untuk melihat sebuah pameran di tengah kota. Licinnya jalan raya setelah diguyur hujan, macet sebab banyak jalan yang digenangi air hingga 30 cm membuat Budi sejenak kehilangan konsentrasi dan tak melihat ada mobil yang kehilangan kendali. “Brakkkkkkk”, suara dentuman yang cukup membuat orang-orang yang berlalu lalang di trotoar bahkan semua pengendara terkejut. Budi, dengan motornya ditabrak oleh mobil yang melaju tanpa perhitungan.
“Arunika? Kau dimana? Budi, sekarang di rumah sakit!”, ujar sepotong suara di line telepon. Saat itu juga, jantung Arunika berdegup sangat kencang, antara bimbang, takut dan pastinya sedih. Ia menangis sebab tak tahu mau berbuat apa, sudah tengah malam dan Budi pasti tak baik-baik saja. Arunika ingin sekali melihat Budi dengan mata kepalanya sendiri sembari menggenggam tangan Budi dan berkata “Bud, lihat aku! Lihat! Ini aku, Arunika”. Tapi, apalah daya seorang Arunika malam itu. Ia hanya bisa berdoa semua yang terbaik akan terjadi pada Budi, sebab Budi adalah orang yang sangat baik. Arunika pun dapat mengetahui bahwa Budi masih saja menjadi orang yang sangat penting dalam hidupnya. Sebab, ketika Budi berada di posisi sakit, Arunika merasa sangat sesak di dada ketika tak dapat melihatnya dan menggenggam tangannya. “Bud, aku sekarang tahu rasanya ketika kau sakit dan aku seperti orang gila yang ingin berlari menujumu. Kau menang, Bud”.
Ia mengingat saat pertama Budi menggenggam tangannya, kala itu rintik di bulan Juli tak ada sejuk sama sekali, yang ada ialah sejuta kehangatan. Arunika yang duduk di bagian paling jauh dari panggung sembari menelan lantunan lagu yang mendayu-dayu, terdengar sebuah suara yang sangat menakutkan, Arunika hanya bisa menangis dalam hujan dan kelelahannya. Budi yang dari jauh berlari menuju Arunika, ia terlihat sangat panik dan emosi sembari mengenggam kepalan tangan untuk membenamkan wajah seorang yang membawa mobil dengan ugal-ugalan sehingga membuat Arunika terbaring di atas aspal. “Dasar keparat!”, bogem mentah Budi tepat mengenai hidung si pengendara sampai mengeluarkan darah segar. Budi kemudian berlari ke arah Arunika yg terluka di bagian kaki dan dahinya, meskipun hanya terserempet sedikit, Arunika tak mampu menahan sakit sebab satu harian ia habiskan dengan kesibukan dan ia sudah merasa sangat lelah.
            “Arunika, lihat aku! Lihat! Ini aku, Budi. Arunika????”, tampak sekali raut cemas pada wajah Budi sembari menggenggam kedua tangan Arunika. Bahkan daun yang gugur pun tahu bahwa ada sebuah rasa yang aneh di dalam hati Budi, namun tak terucap dan akan selalu tampak samar. Malam itupun, Arunika jatuh hati pada seorang yang tak sanggup melihat ia sakit.

Tentang sebuah terang yg ku gelapkan
Tentang sebuah tanya yg tak terjawab
Hari demi hari, kian aku sadari
Ketidakwarasan yang tak kunjung mati

Adalah sebuah iya yang selalu ku tidakkan
Pada sebongkah badan penuh kerapuhan
Yang ku tahu kulit hingga rambutnya
Tanpa hati dan fikirnya

Adalah sebuah tidak yang kau entahkan
Padaku, pada malam sabtu yang pilu
Malam penuh kebenaran yang bagiku bohong
Semakin ku tahu, kau entah, aku entah

Kita adalah sebuah lorong sepi
Bertautan oleh lantai bernanah
Entah kau entah aku yang terluka
Asal tak ada luka selain kita

Tak ada adil dalam semua goresan itu
Muak, pada segala yang melahap matamu
Berang ,pada segala yang menyentuhmu
Namun tidak adalah iya yang menyamar
Padaku, kau ialah bohong yang benar
5 Oktober 2019

            Di dalam kesedihan dan kebimbangan, pikiran Arunika terbang pada malam sabtu, disaat Budi bercerita akan dirinya jauh lebih dalam. Membuat Arunika patah hati untuk yang kesekian kalinya. Budi adalah seorang yang tak pernah mengucap bahwa Arunika adalah juara di pikirannya, namun sering kali ia melahap segala gelap dan lelah hanya demi Arunika. Tak habis fikir, namun itulah Budi yang selalu menjadi peri tampan bagi beberapa orang, malaikat tak bersayap untuk semua orang. Arunika, harusnya menyadari itu sejak dulu, tapi tak akan ada kesadaran itu jika Budi selalu ada di hidupnya, dari senin hingga senin lagi. Samar itu selalu menemani perjalanan Arunika, yang pasti ia tak akan baik-baik saja jika Budi tenggelam atau mati.
            Sejenak Arunika merasa dirinya berada di dunia seperti Negeri Senja, dimana segalanya tampak samar. Tak ada satupun kepastian di dalam benaknya, yang ada hanyalah semburat jingga yang biasanya juga menjadi gelap bagaikan siluet. Budi adalah seorang yang membuatnya berani mengungkapkan pendapat, namun Budi juga ialah orang yang membuatnya tak berani mengungkapkan isi hati. Tak akan ada yang tahu, bahwa Budi lebih kejam daripada Puan Tirana di Negeri Senja nan jauh disana. Sebab Budi sangat tak ingin kehilangan satupun, yang telah jadi miliknya maupun yang akan jadi miliknya. Hingga membuat seorang yang ingin merdeka, jatuh hati berkali-kali.
            Malam itu, takkan ada yang lebih campur aduk ketimbang pikiran Arunika. Jelas yang ia samarkan, samar yang ia ingin jadikan sebuah kejelasan. Tapi, begitulah hidup, seperti kata Seno, “Aku sering merasa hidup dalam keadaan samar-samar, antara tahu dan tidak tahu, yakin dan tidak yakin, pasti dan tidak pasti - yang jelas aku memang tetap hidup”. Budi, biarlah ia tidur dengan nyenyak di sejuknya oktober, asalkan ia tetap hidup. Di sana, dimana kebenaran adalah kebohongan yang kelak akan ia jawab sendiri, sebuah kisah yang Arunika tulis untuk menghidupkan Budi yang sebenarnya hanyalah fiksi yang ia tak ingin bunuh sia-sia.
            “Bud, aku adalah batu. Batu itu diam. Yang mendekat atau menjauh itu kau”, tutup Arunika sembari memandang sebuah siluet di kamarnya.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem