Langsung ke konten utama

Arunika : Terbit dari Diri Sendiri

            Perkenalkan, namanya Arunika. Sebuah nama yang cukup indah, kata orang nama ini seperti nama tokoh di buku Fiersa Besari. Namun, boro-boro membaca bukunya, kenal orangnya saja tidak. Arunika seorang mahasiswa jurusan eksak, kuliah bertemu Fisika, Kimia, Biologi. Lebih parahnya juga bertemu dengan Statistika, mata kuliah milik salah satu prodi yang sempat ia impikan yaitu Pendidikan Matematika. Semesternya sudah kepalang tanggung, ingin pergi sudah setengah jalan, lanjut penuh kebingungan. Mimpinya menjadi Rektor Universitas, sekaligus bergelar Profesor. Tak tanggung-tanggung memang mimpi itu, namun mengejarnya juga butuh berjuta semangat dan kerja keras. Jurusan yang ia jalani sekarang bukan pilihan orang tua, bukan ikut-ikut teman, atau bahkan salah jurusan. Sadar tak sadar ini adalah pilihan pribadi yang sebetulnya didasari oleh pertimbangan-pertimbangan.
            Sebagai seorang pemimpi yang ulung, ia sering menulis segala mimpi dalam secarik kertas. Alih-alih menjadi motivasi, malah menjadi tertawaan teman-teman. Namun, ia ingat kalimat seorang, “Mimpimu tak keren, apabila belum pernah ditertawakan orang-orang”. Ya, ada betulnya dan ada salahnya juga, tapi juga cukup untuk mengembalikan semangat diri. Belakangan ini, seorang Arunika tengah mati dalam sebuah kebingungan atau mati dalam peradaban yang telah dibangun oleh pribadi secara utuh. Tapi, angkuhnya ia malah berdiam dan sampai pada puncaknya amarah adalah teman terbaik, meskipun sangat tidak dewasa. Meskipun, risiko kehilangan orang-orang tersayang akan semakin besar.
            Arunika jadi mengingat seorang kawan yang ia pertama kenal lewat koran independen. Baginya, apabila seorang aku tengah buntu, seorang kawan itulah tempat ia membuka pemikiran. Meskipun kembali lagi, manusia adalah sebongkah daging yang jauh dari kata sempurna. Pernahkah kau berpikir bahwa semua orang butuh motivasi dari orang lainnya, meskipun ia selalu terlihat dewasa dan arif? Kali itu, ia temukan seorang yang sebetulnya butuh motivasi dari luar, namun memilih bungkam, memilih bersikeras bahwa motivasi dari diri sendiri adalah hal mutlak, apakah benar?


            Suatu sore ia bertemu seorang kawan yang sempat menjadi jurang inspirasi. Tempat dimana ia tulis puluhan puisi yang tak kunjung menjadi sebuah buku, ia hampir sekarat oleh perbuatannya sendiri. Arunika berkaca pada alir sungai dan berkata :
“Tak ada yang berbeda dengan orang itu dua tahun lalu, namun banyak berbeda dari aku yang kian menyadari. Puisiku butuh inspirasi, namun tak selamanya inspirasi harus dimiliki. Lalu, ku matikan ia dalam sebuah ruang dan ku kunci agar tak menganggu lagi. Mimpiku masih sama, sebuah buku yang lahir dari keresahan. Muntahan-muntahan pemikiranku, hasil perkenalanku dengan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa-nya Pramoedya Ananta Toer, namun memang belum cukup, sebab kata seorang kawan, “Mengenal Pramoedya bukan hanya dari Tetralogi Pulau Buru”. Maka dari itu, ku jajaki perkenalan itu sedikit demi sedikit. Kecintaanku pada sastra tak akan pudar, pemikiranku harus ku beri makan. Agar tak sia-sia pernah jadi budak inspirasi, setidaknya lahir anak dari rahimku, barang sekumpulan puisi, prosa, atau roman yang duduk manis di toko buku.”
Sore berganti malam, jurang inspirasi itu berubah menjadi sebuah jurang mematikan, untung saja Arunika sudah benar-benar undur diri. Menjadi penulis adalah salah satu mimpinya.
            Arunika kembali menyambangi aplikasi-aplikasi yang sempat berdebu, aplikasi design grafis yang kadang memang membuat ia menjadi kelelawar, namun memang menyenangkan apabila ia sentuh. Arunika ini, seorang wanita yang masih suka manja pada ibunya ini, sangat suka melampaui batas diri, setidaknya menjadi seorang yang bisa meskipun bukan sangat mahir. Meski lagi, selalu dinasehati dan dipaksa tidur jauh lebih awal. “Ah, sekarang masa produktif, mengapa dipakai hanya untuk tidur-tiduran.” Ujarnya pada boneka jeruk bermata dan bersenyum manis. Bertambah lagi mimpi seorang pemimpi ini.
            Banyak yang berpikiran bahwa nilai bukan segalanya, nilai dalam perkuliahan contohnya. Anak organisasi pasti akan mengesampingkan akademik, anak yang akademis akan mengesampingkan organisasi. Tapi, bagi seorang Arunika ini, keduanya seharusnya seimbang. Meskipun sangat sulit untuk menyeimbangkannya. Di semester kepalang tanggung ini, ia malah disuntiki banyak intervensi-intervensi. “Ah, betapa merdekanya hidup tanpa intervensi”, ucapnya di suatu malam. Kebebasan berekspresi contohnya, di bagian manapun seorang menurutnya bebas menjadi apapun yang seorang itu mau, begitu pula dalam sebuah organisasi. Langkah-langkah selama itu tidak menghilangkan nilai-nilai suatu kaum, bukan suatu hal yang perlu dipermasalahkan, bukan? Di satu sisi, ia dikejar pemikiran bahwa akademik itu penting, nilai juga menjadi tolok ukur suatu orang, Arunika pun memilih mencoba menyeimbangkan keduanya. Meski sulit, ia menjadi seorang yang ambisius di suatu sisi, dan pesimis di waktu lain. Goyah, dan ia membenci orang-orang yang sempat berkata memilihnya, namun di suatu hari berkata bahwa pernah ingin memilih orang lain, lalu menempatkan pilihan pada Arunika. Persetan akan pilihan, bajingan seperti apa yang menyesali pilihannya namun disaat yang sama berjuang untuk mempertahankan pilihan itu? Belum saja mengejar mimpi, malah dihadapkan oleh halang rintang.
            Tiba semua pada titik jenuh. Jenuh akan segala hal. Ia menutup pintu kamarnya dengan dua kursi kayu kemudian mematikan diri. Menghardik orang-orang tersayang. Ia benci segalanya, tak terkecuali dirinya sendiri. Ia adalah manusia merdeka, namun mengapa banyak sekali yang sangat ingin mengendalikannya? Apakah kemerdekaan itu adalah harapan kosong seorang pejuang dan harapan  yang sebenarnya hanya sebuah kosa kata? Mungkin saat itulah ia merasakan hal yang sama dengan seorang kawan tempatnya membuka pikiran itu. Sangat ingin dicekoki motivasi dari orang lain, namun sungguh sangat berat berkisah tentang pribadi, karena seluruh manusia adalah orang asing, terkecuali diri sendiri.
            Ia memembuka hari dengan bertemu seorang yang menurutnya akan membuka pemikiran, sekali lagi bukan untuk mengisahkan betapa menyedihkannya seorang pemimpi ketika tak meneguk motivasi. Tapi, untuk membenamkan penat dengan seteguk kopi yang banyak orang bilang dapat menginspirasi. Empat jam meneguk kopi, sepertinya cukup. Sejauh menelan mimpi sendiri, sejauh itupun ia tersadar. Betul, motivasi dari luar memang penting, tapi tidak mutlak. Motivasi dari diri sendiri adalah hal terpenting. Selama apapun seorang mengenal kita, ia hanya tahu sedikit dari kisah kita, hanya ada seorang yang mengenal dengan sangat utuh yaitu dirimu sendiri. Jadi, sudahkah memotivasi diri hari ini?
            Arunika, seperti filosofi namanya yaitu matahari terbit, semoga diri cukup menjadi cahaya untuk menggapai harapan-harapan, menjadi energi untuk memotivasi, dan semoga yang diimpikan menjadi kenyataan. Penat adalah bumbu sebuah perjuangan. Mimpi-mimpi yang ada, barang satu dua akan jadi sebuah hari yang nyata.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem