Langsung ke konten utama

Arunika : Keadilan untuk Adilla

            Sabtu malam di tempat Arunika bernaung, tak ada bedanya dengan kota mu. Tetap sesak dipenuhi manusia yang menganggap malam itu adalah malam yang penting. Arunika bukan salah satunya, dibuktikan dengan ia yang duduk dan menatap layar laptop untuk menulis sebuah cerpen yang biasanya diupload seminggu sekali di website Komunitas Penggores Pena. Pikiran Arunika tengah buntu, entah karena kejadian hari rabu yang menyebabkan Budi di boyong ke sektor kota, lalu hati Arunika patah karena Budi lebih membimbangkan orang lain ketimbang dirinya sendiri atau karena teringat tugas-tugas kuliah yang mulai tak tersentuh. Arunika tengah bimbang, tak tau arah, kelam kabut.
            Dalam riuhnya bunyi knalpot motor yang sering lalu lalang, Jingga datang dengan membawa sekotak terang bulan rasa keju coklat, kesukaan Arunika. Sahabat Arunika sejak di bangku sekolah itu memang selalu paham keinginan Arunika.
            “Arunika, tumben otakmu macet ketika kau menulis? Padahal sudah ku beri amunisi”, ujar Jingga setelah 30 menit duduk di sebelah Arunika, namun tak melihat satu kata pun dituangkan Arunika di dalam page Microsoft Word 2010-nya itu.
“Entah, aku tak tahu”, jawab Arunika singkat.
“Ceritalah, apa yang ingin kau ceritakan”, Jingga paham saat itu Arunika sedang ingin bercerita secara lisan, bukan tulisan.
Arunika mulai menceritakan kejadian yang terjadi pada Budi, Jingga sudah mengenal Budi meski tak sedalam Arunika. Jingga pun juga sudah tahu sahabatnya itu menyukai Budi, meski tanpa sadar atau belum saja Arunika berani mengakui hal itu. Bagaimana tidak, Arunika adalah sosok yang jika menyukai seseorang, maka nama seorang tersebut akan sering disebut-sebutnya. Entah sejak kapan, Jingga sering kali mendengar nama Budi diucapkan oleh Arunika. Tak terhitung nama itu disebutnya.
Ditengah asyiknya bercerita, datang seorang pria berambut gondrong sepinggang dengan motor vespa, Arunika hening, Jingga tersenyum. “Bud, lama sudah tak bersua, makin gondrong saja rambut dan kumismu” sapa Jingga. Budi tersenyum lebar dengan mata yang tertuju ke Arunika. “Ada apa, Bud? Tumben ke sini?”, sapa Arunika dengan nada sedikit ketus, ia telah mengembalikan Budi ke etalase, tapi kenapa buku di etalase itu berjalan ke rumahnya pada sabtu malam, timbul pertanyaan di batinnya.
Budi mengenang kamis pagi disaat ia keluar dari sektor kota dan ingin bercerita pada Arunika mengapa ia sangat bersemangat untuk ikut aksi di 8 Mei kemarin. Seperti tidak ada waktu lain, namun memang seorang Budi yang dingin dan misterius itu mulai ingin berbagi cerita, tanpa diminta.
“Kau tahu Arunika, mengapa kami sampai ditahan oleh aparat? Bukan karena anarkis, bukan karena kami membakar fasilitas umum. Namun karena kami meminta keadilan untuk Adilla, selain meminta keadilan untuk Marsinah”, ujar Budi membuka cerita sembari melihat mata lawan bicaranya, Arunika dan Jingga.
“Adilla? Buruh pabrik itu?”, tanya Arunika. “Arunika, bukankah kita pernah bertemu ia ketika kau menemaniku memasukkan lamaran kerja, ingat, kan? Bukankah kita juga sempat berbincang dengannya?”, sambung Jingga dengan sisa-sisa memori bulan Januari ketika ia masih berjuang mencari pekerjaan. “Adilla dengan pemikiran yang hebat itu, hampir tiga jam kita berbincang dengannya, aku sempat berfikir dia itu mahasiswa, ternyata dia hanya buruh di pabrik tempat kau melamar kerja”, tambah Arunika sembari memandang Jingga.
“Iya, betul sekali. Adilla itu teman kami berdiskusi, ia sering main ke sekretariat, meskipun bukan mahasiswa hukum”, Budi mengenang Adilla.
Ternyata Adilla adalah salah satu teman diskusi Budi. Karena keterbatasan biaya, Adilla yang sangat ingin kuliah harus mengurungkan niat. Perkenalan Adilla dan Budi dimulai ketika mereka bertemu di toko buku loak. Perbincangan yang semakin seru, membuat Budi membawa Adilla ke sekretariat. Adilla menyukai hukum sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, dan semakin bertekad untuk kuliah di fakultas hukum setelah ia mendengar kasus terbunuhnya Marsinah. Marsinah menjadi penginspirasinya. Adilla merasa senasib dengan Marsinah karena merasa mereka berdua sama-sama ingin berkuliah di fakultas hukum namun tak kesampaian, lalu berujung dengan menjadi buruh pabrik.

Sebulan yang lalu, tepatnya bulan April, Adilla dan beberapa temannya di pabrik mengadakan diskusi tentang gaji yang dibawah UMR dan kebijakan pemotongan gaji buruh yang tidak bekerja karena sakit. Diskusi tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan yaitu pertemuan seluruh buruh pabrik secara diam-diam untuk merencanakan aksi demo kepada direksi pabrik. Adilla yang dianggap paling vokal menjadi penggerak massa, pertemuan diam-diam tersebut ternyata diketahui oleh direksi dan suasana menjadi memanas. Adilla sempat dipanggil oleh direksi bersama beberapa temannya, pertemuan tersebut bukannya mendapatkan titik terang, Adilla malah dipecat, dengan berbagai tuduhan. Memang, Adilla sudah dua kali menjadi penggerak masa dalam aksi demo pabrik, pertama disaat salah satu buruh tidak mendapatkan kompensasi ketika mengalami kecelakaan kerja dan yang kedua saat pemotongan gaji secara sepihak.
Pemecatan tanpa dasar dan bukti itu membuat kawan-kawan buruh pabrik mengadakan demo di pabrik pada hari Kamis, 4 April. Tuntutannya, selain kenaikan gaji diatas UMR dan penghapusan kebijakan pemotongan gaji buruh yang tidak bekerja karena sakit, juga tentang pemecatan Adilla.
Di indekos Adilla yang tak jauh dari pabrik, Adilla tengah duduk memandang surat pemecatannya. Tiba-tiba ketukan pintu memecahkan lamunannya. “Adilla, Adilla, kau ada di dalam???”, teriak Mbak Ipeh dan Rona, teman Adilla sesama buruh pabrik. Adilla segera membuka pintu dengan wajah bingung, “Ada apa?”, tanya Adilla tanpa sadar ia belum memakai hijabnya, lalu segera menarik Mbak Ipeh dan Rona masuk ke dalam kamar. “Di pabrik sedang ada demo, tuntutannya sama seperti yang kita diskusikan kemarin, tapi ditambah mempertanyakan kenapa kau dipecat tanpa alasan yang kuat”, ujar Mbak Ipeh. Tanpa ba-bi-bu, Adilla  memakai hijabnya, mengunci kamar kos dan berlarian bersama Mbak Ipeh dan Rona ke pabrik yang sudah hampir dua tahun membiayai kehidupannya itu. Di tengah perjalanan, handphone Adilla berbunyi, “Adilla, balik ke kampung sekarang, adikmu Alif meninggal karena penyakitnya”, telfon dari kampung yang cukup membuat ia panik. Karena kepalang tanggung, Adilla tetap melanjutkan larinya ke pabrik.
Riuh teriakan para buruh dengan tuntutan-tuntutan yang ada dan ancaman akan mogok kerja apabila tuntutan tersebut tidak diijabah oleh direksi semakin memanaskan suasana. Setibanya di pabrik, Adilla kembali ditelfon oleh keluarganya dari kampung, karena ia pikir kawan-kawan buruh dapat mengatasi hal tersebut, ia segera pergi ke kampung halaman yang tak jauh dari kota, sekitaran 3 jam apabila menggunakan bus. Hari menjelang sore, direksi membuka ruang diskusi untuk beberapa orang buruh yang dianggap dapat menjadi jembatan antara dua kubu yaitu direksi dan seluruh pekerja. Tuntutan para buruh tak seutuhnya diterima oleh direksi, malah bertambah persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh direksi apabila tuntutan buruh ingin dikabulkan. Perwakilan buruh mulai gerah, salah satu sempat ingin menerjang pimpinan perusahaan. Pada saat itu, Adilla tak terlihat oleh pihak direksi, dianggap kabur dan dituduh bertanggungjawab atas aksi di pabrik. Teman-teman perwakilan buruh, berkata bawa adik Adilla meninggal di kampung dan ia tak ada mengucapkan sepatah katapun saat aksi tadi berlangsung.
Pada hari senin pagi, setelah beberapa orang buruh ditahan di sektor karena dianggap menjadi profokator atas aksi susulan setelah hari rabu lalu, direksi mengumumkan tuntutan buruh dikabulkan dan pastinya Adilla dapat kembali bekerja di pabrik. Rona dengan semangat menelfon Adilla agar kembali ke kota karena ia tidak jadi dipecat. “Adilla, kau tak jadi dipecat, tuntutan kita diterima oleh direksi dan diijabah. Segera kembali ke kota, aku juga rindu kau. Aku turut berduka atas kepergian adikmu” ujar Rona. “Alhamdulillah, aku akan kembali ke kota esok hari, terimakasih atas informasi dan belasungkawanya. Tak sabar aku melihat wajah kawan-kawan di pabrik. Aku segera kesana. Tunggu aku”, dengan senyum sumbringah Adilla menutup telfonnya. Ia berangkat dari rumah di kampung pada selasa sore.
Rabu pagi tepatnya tanggal 10 April, ditemukan mayat seorang wanita yang saat itu diketahui bernama Adilla dengan tubuh penuh luka dan lebam, di hutan yang berjarak 2 jam dari kota. Sontak seisi pabrik berbelasungkawa, terutama Mbak Ipeh dan Rona yang memang sangat dekat dengan Adilla. Seisi sekretariat Budi pun berbelasungkawa, namun dengan banyak kebingungan atas sebab-musabab meninggalnya Adilla. Media massa sunyi senyap, seolah dibungkam oleh orang yang berkuasa. Sampai hari Rabu, 8 Mei disaat Budi dan kawan-kawannya turun ke jalan untuk aksi. Keadilan belum ada untuk Adilla. Penyebab kematian masih simpang siur, tersangka belum diketahui apalagi motif pembunuhan. Berita tentang kematian Adilla pun bagaikan pesan yang terabaikan, tak terekspos sama sekali. Hal ini yang mendorong Budi dan kawan-kawan semakin vokal meneriakkan keadilan untuk Adilla, bukannya didengar, mereka malah ditahan oleh aparat.
 
Jam menunjukkan pukul 22:30, sabtu malam yang cukup menyedihkan untuk tiga orang yang berbincang di teras yang menghadap ke arah barat dengan kursi kayu jati tersebut. Jingga undur diri sebab meskipun esok hari minggu, ia masih harus bekerja. Tamak sekali bos si Jingga itu, gaji tak besar, kerjaan banyak, hari minggu pun tak ada libur. “Aku pulang dulu, ya. Bud, jangan kau buat sedih lagi sahabat ku, ceritakan hal-hal lucu lah setelah ini”, canda Jingga sembari memakai sepatu. Budi hanya mengangguk sembari tersenyum. Melambaikan tangan? Sepertinya haram bagi Budi yang dingin itu. Arunika berdiri dan mengantar Jingga ke motornya, “Jangan kau salah tingkah, ya!”, seru Jingga dan dibalas cubitan oleh Arunika.
Arunika kembali duduk di kursi dengan menghadap Budi. “Arunika, kau sudah tahu kan mengapa aku sampai ditahan kemarin? Masalah muka bonyok dan badan luka bukan karena aku yang anarkis. Kau tau Adilla itu salah satu kawan berbagi cerita, sahabatku, sahabat kami. Tak rela aku dia meninggal dengan sebab yang abu-abu”, Budi mencoba meyakinkan Arunika. “Ya, aku paham, sebagai temanmu, aku juga tak mau kau kenapa-kenapa, nanti siapa yang ku jambak kalau kau tak ada”, jawab Arunika sembari menarik rambut Budi.
“Sebab aku sudah kehilangan satu sahabatku, aku tak mau lagi kehilangan. Apalagi hanya karena salah paham, tak elegan sekali alasan itu hehehehe”, tawa Budi dengan menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Tumben sekali ia menjadi seorang penerang, biasanya setiap orang bertanya ia malah balik bertanya.
Minggu malam masih berlanjut, dengan laptop Arunika yang sudah ia matikan sebab lebih menyenangkan berbincang dengan Budi ketimbang menulis. Dari pembahasan yang menyedihkan, malah menjadi pembahasan tentang buku-buku baru yang ingin dibeli oleh Arunika. Arunika masih tak mampu menahan diri, baginya berbincang dengan Budi adalah sebuah kesempatan yang berharga. Ia tak mau segera mengakhiri perbincangan. Budi masih manusia misterius, sebab bercerita tentang hidup Arunika pada Budi sangat mudah baginya, namun untuk mengetahui cerita tentang hidup Budi bagaikan mengetahui dasar samudera atlantik. Apakah Budi masih mencintai wanita yang sama? Hanya Tuhan yang tahu. Malam ini yang sangat ingin Arunika tahu adalah siapa seorang yang sering Budi tulis di puisi-puisinya yang diupload di website Komunitas Penggores Pena, lebih tepatnya kata “Ia, dia atau kau” tersebut menuju ke siapa. Luas memang pemikiran Budi, mungkin saja kata “Ia, dia atau kau” menuju ke penulisnya sendiri. Tapi, jika untuk seorang wanita, Arunika bisa menyiapkan diri untuk menutup akses terhadap Budi.
Seiring perbincangan yang sudah hampir melahap tengah malam, Arunika yang awalnya penuh kebingungan kini sudah mendapat banyak ide untuk menulis. Tak lain tak bukan karena Budi yang membuat pemikirannya kian terbuka. Hebat betul si Budi ini, entah sudah berapa ratus buku yang ia lahap, Arunika pun tak pernah bertanya. Di tengah perbincangan ada seorang yang menelfon Budi, karena tengah malam suara knalpot motor sudah lenyap, hening yang mendominasi dapat terdengar sayup suara wanita yang berbincang dengan Budi di telefon, Budi hanya menjawab “Iya, iya dan iya”. Tak lama Budi menutup telefon dan menutup perbincangan dengan Arunika. “Sudah tengah malam, aku pamit. Terimakasih Arunika” pamit Budi sembari membetulkan ikatan rambutnya. Arunika tersenyum dan berjalan menuju halaman untuk mengantar Budi menuju vespanya. “Hati-hati di jalan, Bud. Terimakasih juga”, Arunika melempar senyum dan tatapan kagum pada Budi, ia masih menyembunyikan rasa penasarannya. Budi melambaikan tangan dengan tatapan yang telak membuat Arunika salah tingkah. Sejak kapan si dingin itu melambaikan tangan? Sudah mulai menghangat pula dia.
Arunika masuk ke kamar dan kembali menulis cerpen. Baginya sabtu malam kali ini menyenangkan, meskipun ada yang memilukan. Buku yang di etalase tersebut masih tetap di etalase, Budi tetaplah Budi yang Arunika tak tahu siapa yang kerap menjadi sosok “Ia, dia atau kau” dalam puisi-puisi buatannya. Walau pernah tertangkap melempar tatapan mematikan untuk Arunika, tak dapat menjadi alasan Arunika untuk mengharap pada Budi, yang pasti Budi adalah manusia yang tepat baginya untuk bertukar pikiran.
“Kau pasti akan ditemukan dengan seorang yang apabila berbincang dengannya, pemikiranmu yang awalnya buntu kembali terbuka, ide-idemu muncul, dan kau berpikir kau orang yang usang sedangkan ia yang meng-upgrade-mu. Aku telah, dan kau orangnya, Bud. Tapi, penginspirasi tak selamanya harus disimpan di hati, bukan?”, ujar Arunika pada sebuah buku pemberian Budi.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem