Langsung ke konten utama

Arunika : Membunuh Abu-abu





          
            Ia tak tahu awal mula aku berharap menemani hidupnya, semua itu hanya ku tuliskan dalam sebuah kisah yang ku biarkan terpotong satu dengan lainnya. Ia adalah Budi yang ku kenal karena hobiku, ia juga yang selalu membuatku ingin membeli buku di emperan Kota Solo, bagi kami tempat itu adalah surga. Budi, dengan segala kebaikkanya membuatku sempat merajuk dan berkata : “Bud, kenapa kita tak saling jumpa sejak dahulu kala, sehingga yang bisa kau habiskan adalah waktu-waktu bersamaku. Entah membeli buku, berjalan menyusuri bibir pantai sembari memotretmu kala Senja”.
            Akupun sempat menangis disuatu malam karena mengenang kisah Budi yang bertekad untuk menyelesaikan studinya karena ia dipatahkan oleh seseorang. Betapa aku merasa tak berharga, atau memang hadirku memang belum ada kala itu. Meskipun aku sudah melihat Budi dari sebuah kejauhan. Mulai malam itu juga, aku membenci siapapun yang pernah mengisi hati Budi, dan menghardik siapapun yang menyakitinya. Menceritakan masa lalu memang hal yang bodoh dan menyakitkan, tapi mengapa kita masih mau melakukannya?
            Kala itu, sebuah hujan rintik di November. Aku berkendara menggunakan motor matic menuju pelabuhan untuk mengantar Budi, ia akan pergi ke Jawa, bukan untuk membelikanku buku. Dwikora sangat indah kala itu, aku meresapi sepoi sembari mengabadikan sebuah pisah yang akan menuju temu. Tak lama datang seorang yang ku kira tak jadi berangkat bersama Budi, yasudahlah, Budi berhasil membuatku tak akan mudah menaruh percaya padanya. Disepanjang perjalanan, aku lelah menyeka sebuah hujan yang membasahi mukaku, tapi aku bersyukur, untuk kedua kalinya hujan membuat tak seorangpun tahu bahwa aku menangis.
            Perjalanan yang terberat bagiku, bukan karena jalan yang berbatu dan bergelombang. Aku ingin sekali membangkitkan seorang Budi yang telah mati di dalam tulisanku. Budi yang bahkan tak mengizinkan aku melihatnya berjalan dengan seorang yang mencintainya, Budi yang menjagaku sentengah mati bahkan menjadi tempat terberani ku untuk meluapkan air mata. Budi itu tengah jauh, di Borneo belahan lain. Lagi, luka tubuh pun aku masih sanggup untuk tidak meminta obat dari seorang Budi, tapi entah, untuk luka hati, meskipun ia tak tahu apa yang terjadi padaku, resah hatinya membawa pada rasa khawatir yang sangat pada keadaanku. Tapi, aku membunuhnya karena bagiku, hidup adalah tentang mengikhlaskan.
            Hidupku adalah tentang sakit, sebuah amarah dan tangis yang meyakinkanku bahwa aku mencintai seseorang dengan sangat. Seseorang yang menurutku masih “entah”, sebab begitu, karena aku tahu baik buruknya sebelum aku bersamanya. Suatu ketika Budi menuliskan sebuah puisi kala ia duduk di bibir Parangtritis, katanya tulisan ini untukku :

Suatu sore di Parangtritis
Pantai ini mengingatkan akan sebuah tangis
Sebuah ombak yang menyapu goresan rindu
Masa lalu, bunuhlah, seindah apapun itu

Kau ialah sepucuk kembang dengan alunan gamelan
Menari-nari dalam sebuah lorong sepi
Yang kau kenal sebagai aku
Hidup dalam pikiranmu

Biarlah, bunuhlah aku, jika membuatmu hidup
Maka sayap-sayapku tetap memelukmu
Menepis duri, menghapus luka
Menyejukkan, layaknya angin sepoi sore ini


            Budi, mengajarkanku meyakini sebuah hal : Apapun yang menjadi suatu yang menyakitkan, tapi hal itu pula adalah penyembuh dari racun yang menyakitimu, maka teruslah menulis kisah hidup bersamanya. Entah semenyakitkan apapun itu. Selama mencintai membawamu menuju hal-hal yang membuatmu menjadi sosok yang lebih baik, lakukan itu hingga habis waktumu. Aku yakin, Budi yang telah mati itu akan bangkit kembali jika Arunikanya dilukai. Tapi, untuk kali ini biarlah sosok Arunika benderang karena cahayanya sendiri, meskipun masih dihantui oleh masa lalu dan penyesalan mengapa ia tidak hadir sejak dahulu dan mengisi sebuah kehidupan itu.
            Ah, persetan akan masa lalu. Jika Arunika sudah mengubur masa lalunya, Budi pun harus sudah membunuh itu jua. Bud, marilah kita saling membunuh, untuk segala masa lalu.



Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem