Langsung ke konten utama

Arunika : Deja Vu II


Pukul 2 pagi, Arunika masih terjaga. Sesak dadanya, teringat kejadian malam itu ia bertemu dengan seorang yang mungkin saja bisa membuatnya hidup kembali setelah Budi merejamkan kesakitan berkali-kali. Tapi tidak, perjuangan dan segala yang diberikan tidak terlihat sebagai perjuangan yang hakiki. Meskipun sebenarnya Budi pun belum tentu pejuang yang mati-matian. Selalu terjadi, Budi selalu duduk di singgasana dimana tak seorangpun bisa menggesernya meskipun ia ialah tirani yang tak henti-henti menjadi tokoh utama. Begitulah, ketika racun dan penawar ada di dalam satu tubuh yang sama.

Satu hari sebelumnya, Budi  mengajak Arunika ke rumahnya untuk menulis sebuah puisi yang nantinya akan dijadikan musikalisasi pusisi dan ditayangkan di channel youtube komunitas. Ya, Arunika sudah mati-matian menutup segala jalan agar mereka dapat berkarya bersama, tapi, suatu hal tak terelakkan bernama takdir. Di teras rumah Budi dengan pemandangan pepohonan rindang dan bunga-bunga bermekaran. Cantika, si gadis kecil yang sangat polos itu duduk di pangkuan Arunika. Ia berkisah tentang kecemburuannya pada bunga-bunga di pekarangan depan rumah, karena bunga-bunga dapat menari-nari dengan bebas tanpa disuruh naik ke rumah jikalau hari hujan maupun terik. “Ayah selalu minta aku buat naik ke rumah kalo hujan, nanti aku sakit katanya. Kalo hari panas, aku juga ga boleh main di pekarangan, nanti aku hitam, ga cantik lagi. Padahal aku sangat ingin melakukan itu semua, meskipun aku nanti bisa kena flu”, kisah Cantika pada Arunika dengan tatapan dalam nan muram. Tak lama, Budi keluar dengan membawa dua gelas teh manis dan biskuit. Cantika memeluk kaki Budi, ya Budi, orang yang selalu dirindukannya sebab untuk bertemu dengan Budi meskipun mereka serumah, tak semudah yang dibayangkan. Budi selalu sibuk dengan hal-hal di kampus hingga waktu untuk di rumah hanya ketika ia mau tidur.

“Arunika, apakah kamu sudah dapat inspirasi ketika ku tinggal menyeduh teh tadi?”, tanya Budi. “Ah, kau pikir otakku seencer itu bisa dengan sekejap dapat inspirasi belum juga kau beri aku amunisi tadi”, seru Arunika. “Kau minum saja teh ini, sepertinya beberapa detik lagi kau akan mendapatkan inspirasi”, ujar Budi sembari menyuguhkan secangkir teh untuk Arunika. Cantika sudah berlari-larian mengejar kupu-kupu karena mentari juga sudah tak seterik tengah hari. “Tadi, Si Cantik cerita sama aku soal dia yang ga dibolehin Ayah kamu main keluar rumah kalo hujan dan terik, sepertinya aku sudah mulai mendapat inspirasi” Arunika mengambil gelas teh di tangan Budi.

Setengah jam, puisi yang ditulis Arunika sudah rampung. Dengan judul yang tak ia beri tahu kepada Budi. Arunika ingin beranjak dari teras itu, tempat yang dikenang saja sudah memuntahkan banyak hal-hal lampau, apalagi jika berlama-lama duduk disana dalam suasana nyata. Belum sempat ia berdiri untuk berpamitan, Budi sudah membuka cerita “Arunika, aku sebenarnya masih sama menjadi Budi yang tidak enakkan, ini kedua kalinya, aku tahu kau persis tahu bagaimana yang ku pendam ini. Aku terlalu kasihan dengan orang, hingga mengiyakan semua yang orang mau dan pada akhirnya, saat aku terpuruk ternyata masih bukan orang itu yang ku cari-cari. Tapi, akupun masih jadi pengecut untuk mengakui bahwa siapa pengobatku”, Budi menghela napas. Arunika sudah mengira lambat laun kalimat itu akan kembali terucap. Budi belum melepas-mengikhlas seperti yang terlihat orang-orang. Arunika tertegun dan teringat akan Adrie, ya bocah SMA tengik yang kian hari ia lihat kian mirip dengan Budi.

Tahun 2013 silam, semenjak Arunika melihat isi pesan Adrie dengan penuh “sayang-sayang” dengan seorang gadis keturunan Arab yang sama seperti Adrie, Arunika sudah mulai mengambil langkah mundur. Adrie, memang masih menjadi manusia baik hati yang dikenal Arunika. Adrie yang dulunya menyembunyikan gadis keturunan Arab itu : dengan tidak menyimpan nomornya di handphone, selalu menghapus pesan singkat mereka karena Adrie masih selalu menitipkan handphone kepada Arunika, bahkan Adrie membungkam mulut teman-teman dekatnya jika ada yang menyebut nama sang gadis. Arunika bersikap biasa-biasa saja di depan dunia meskipun ia patah hati dan benar-benar ingin menjauh dari Adrie. Adrie yang masih saja menoleh ke arah Arunika, ketika Arunika duduk berjauhan darinya. Adrie yang masih saja mendekati Arunika sembari bernyanyi lagu kesukaannya “Suci dalam Debu”, yang mungkin saja kelak Arunika tersadar bahwa itu ialah lagu yang benar-benar diberikan Adrie untuknya. Kisah si gadis biasa dan seorang pria yang mengalir darah yang tak biasa.

Arunika, sebelum bertemu dengan Adrie mungkin saja pernah jadi seorang yang sangat perasa. Namun, ketika sudah bertemu Adrie, ia menjelma menjadi seorang yak tidak peka. Bahkan teman-teman satu kelas Arunika pun sering merasa bahwa Adrie dan Arunika adalah sepasang manusia yang saling menyayangi. Arunika hanya menganggap Adrie mendekatinya sebatas teman yang ingin selalu dekat dalam segala hal, hingga pada satu titik Arunika merasa bahwa Adrie menyerah sebab “sayang” yang sering ia sebut ke Arunika lewat pesan singkat ditolak mentah-mentah oleh Arunika dan dianggap bualan. Ah, Adrie, andai ia tahu bahwa Arunika, semenjak kejadian tersebut takkan berani klaim seseorang menyukainya meskipun semua sikap, kelakuan dan perhatian yang ada sudah menunjukkan rasa suka, tapi tetap nol besar apabila belum ada kata-kata yang terucap dari lisan. Pada akhirnya, Arunika kalah dibandingkan seorang yang berani menanyakan perasaan atau meminta kejelasan. Adrie pun dengan kata “tidak enakan” menjalani hubungan dengan gadis keturunan Arab itu, bahkan hingga berbulan-bulan. Arunika melepas Adrie meskipun masih saja sering merindukannya. Mereka pisah kelas, meskipun masih sering bertemu dan saling sapa. Kedekatan yang ada perlahan mati, meski rumor Arunika dan Adrie masih terdengar. Sebuah kisah klasik anak SMA, yang sebenarnya tak semua orang bisa merasakan. Tapi, Arunika sadar, ia harus belajar dari kisah itu. Apalagi, ia bertemu Budi yang lama-kelamaan semakin mirip Adrie : tidak enakan, baik hati, bersikap manis, selalu mendekat padahal Arunika mati-matian menjauh, dan yang pasti mereka berdua sama-sama dapat dibaca oleh Arunika.

“Arunika!” seru Budi. Arunika melepas lamunannya sembari menatap mata Budi. Ia pamit pulang, sebab tak ingin berpanjang lebar dengan cerita Budi. Meskipun sebenarnya ia masih sangat ingin meluapkan segala hal. Terkadang, hal-hal baik harus terus dipertahankan meskipun keinginan lebih menggebu-gebu, seperti keputusan Si Cantik menuruti Sang Ayah. Arunika mengirimkan pesan singkat kepada ketua komunitas, ia akan menyelesaikan musikalisasi puisi itu bersama Budi, dengan catatan selepas karya itu diupload, Arunika akan keluar dari komunitas. Ia merasa sudah cukup menjadi manusia plin-plan. Bisa saja sebelum ini yang ia lepaskan dari Budi baru sekadar masa-masa lalu dan ingatan-ingatan, ia belum melepaskan seluruhnya seperti sebuah ruang yang bisa membuat mereka bertemu “Komunitas Penggores Pena”. Arunika juga sempat berpegang pada orang-orang sekitarnya untuk dapat benar-benar menghapus Budi, tapi nyatanya hal itu tidak berpengaruh nyata.

Arunika teringat akan pesan moral dari kartun Avatar The Legend of Korra, saat Korra diracun oleh Zaheer dengan racun metal. Meskipun racun tersebut sudah dikeluarkan oleh Suyin Beifong, ternyata masih ada racun yang tersisa pada tubuh Korra sehingga ia tidak dapat mengendalikan keempat elemen seperti sedia kala, bahkan tidak dapat masuk ke avatar mode. Saat Korra bertemu Toph Beifong di danau roh, Toph sang pengendali metal pertama di dunia pun tak dapat mengeluarkan racun tersebut, hingga akhirnya Korra sendiri yang dapat mengeluarkannya dengan metal beanding dan pastinya dengan tekad kuat oleh dirinya sendiri. Begitulah, ketika kita berusaha untuk menyembuhkan, ternyata metode healing yang paling tepat adalah dari diri kita sendiri. Melepaskan semua racun yang kita kira sudah benar-benar lepas. Lalu hidup seperti sedia kala.



Cantik, selamat pagi

Semoga hari-harimu berseri

Diiringi sepoi angin yang menari

Juga bunga yang tak kalah mewangi

 

Cantik, kau tahu hidup ialah dedaunan

Yang kau biarkan bebas berterbangan

Menari-nari, tanpa kekangan, tanpa keterpaksaan

Bukankah begitu juga perasaan?

 

Kita berjalan pada titian yang tak bernyawa

Takut akan kebisingan-kebisingan yang entah nyata

Meski, hati merengek dan meminta-minta

Bukankah kita tahu, sebenar-benarnya rasa?

 

Cantik, bukankah keberanian ialah tekad?

Aku ingin hidup seribu abad

Berani, bagai pohon yang takkan terbabad

Meskipun tetap tak tarbaca semudah abjad


Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem