Langsung ke konten utama

Arunika : Toko Buku Loak

 

Awal bulan tujuh, minggu pagi dengan angin yang tak begitu bersahabat. Daun-daun berguguran di halaman depan penginapan Arunika. Kali ini Arunika merasakan sejuk yang sangat menusuk, entah akan datang hujan atau tidak, tetapi beberapa hari ini masih saja mendung mengelilingi. Jogja selalu istimewa, meskipun kedatangan Arunika dengan pesawat terakhir pukul 22:00 tiga hari lalu disambut dengan hujan, membuat jalanan licin dan banyak grab yang meng-cancel pesanannya. Tempat Arunika menginap sebenarnya kos-kosan yang terletak dekat dengan bandara Adisucipto, di ujung gang dengan pemandangan kebun jagung yang sangat luas di belakangnya. Kos tersebut cukup nyaman, cukup untuk melepas lelah dari kegiatan pencarian buku Babad Tanah Jawi, ya, buku yang sangat legendaris, tetapi sangat sulit dicari loaknya.

Pagi itu Arunika berencana untuk sarapan di Pasar Bantengan, cukup jalan kaki dari tempat Arunika menginap.  Sarapan Arunika kali ini ialah gado-gado, yang setelah ia makan ia akan sadar bahwa gado-gado Borneo dan gado-gado Jogja ternyata memiliki rasa yang sangat berbeda. Gado-gado Jogja lebih terasa segar dengan selada dan tomat mentah, padahal Arunika tak suka tomat. Sarapan yang cukup membuatnya malah ingin wisata kuliner daripada mencari buku, tapi hari ini Arunika berencana untuk sendirian mencari buku, tidak di Jogja tapi di Solo. Seberes ia membayar sarapannya, yang ternyata malah membuat ia mempertanyakan ke-Jawa-an-nya. “Bagaimana bisa dibilang Jawa aku ini, sudah tiga hari di Jogja tetapi tetap merindukan masakan tanah Borneo. Padahal Mbah Putri mu Jawa totok loh Arunika!”, ia menggaruk kepalanya sembari memesan Gojek untuk pergi ke Stasiun Lempuyangan.

Gerbang stasiun Lempuyangan, sesak dengan penumpang yang membawa banyak barang, pada jalan di depan pintu gerbang stasiun dipenuhi pedagang kaki lima, dari yang berjualan jus, aneka oleh-oleh, hingga lontong sayur Padang, ya Padang, padahal ia sedang di Jogja. Arunika mengantre tiket Prameks (Prambanan Ekspress) yang saat itu seharga 8000 rupiah per-tiket. Tiket yang ternyata, loket dibuka dan dapat dibeli 3 jam sebelum keberangkatan, berarti Arunika dapat berangkat ke Jogja 3 jam setelah tiket itu dibelinya. Ia sempat bingung, akan berbuat apa selama itu, tak mungkin kan melihat orang berlalu lalang saja. Arunika memutuskan keluar dari stasiun dan duduk di warung kaki lima yang berjualan jus buah, ia memesan jus kesukaannya, jus apel. Arunika sama sekali tak mengabadikan apapun, meski kelak ia sangat menyesalinya. Tiba-tiba handphone Arunika berbunyi, masuk pesan ke whatsapp-nya, yang ternyata dari seorang Budi. “Arunika, aku akan kembali ke Borneo, malam ini. Ku dengar kau sedang mencari sesuatu di Jogja. Aku sedang di kereta dari Surabaya ke Solo. Bagaimana jika kita bertemu disana, aku temani kau mencari yang sedang kau cari?”. Arunika terdiam, ia heran mengapa Budi selalu saja tahu proses maupun hal apa yang sedang ia kerjakan, padahal ia tak pernah melihatkan aktivitas pentingnya di media sosial apalagi pada Budi.

Arunika sejenak berpikir, apakah ia akan terus memerdulikan Budi. Padahal itu ialah hal yang salah. Budi harus terus hidup dengan mandiri, setidaknya dengan tidak mencari Arunika atau bahkan mengisahkan kehidupannya. Semakin Arunika mendengarnya, kelak Budi akan semakin yakin bahwa hanya Arunika yang mengetahuinya bahkan lebih dari dirinya sendiri. Ya pada akhirnya, Arunika menerima ajakan Budi, ia pun, entah mengapa selalu membawa Bumi Manusia itu, buku yang seharusnya sudah berada di tangan pemiliknya, Budi. Mungkin itu saat yang tepat untuk mengembalikan buku kepada sang pemilik sekaligus menutup segala hal, tanpa jalan untuk kembali.  Waktu berlalu, akhirnya 15 menit lagi Prameks akan tiba di Lempuyangan. Arunika sudah berada di peron melihat kereta lain memuntahkan, lalu kembali menelan penumpang. Tak lama, Prameks sudah tiba, dengan penumpang yang cukup penuh. Arunika mendapatkan tempat duduk tepat di dekat jendela, melihat ke luar dengan disuguhi pemandangan rentetan sawah dan gunung dari kejauhan. Kereta akan sampai setelah kurang lebih 45 menit perjalanan.

Handphone Arunika kembali berbunyi, pesan dari Budi, “Arunika, aku sudah tiba di Stasiun Solo Balapan. Kita bertemu dimana?”. Arunika tak menggubris pertanyaan Budi, dia hanya membalas “Oh iya, Bud. Aku punya sesuatu untukmu, nanti akan ku berikan. Dan, aku ingin makan selat, kau pernah coba?”. Budi membalas dengan cepat “Selat? Makanan khas Solo itu? Aku pun ingin mencobanya. Tapi Arunika, ini bukan pertemuan terakhir kan? Hal-hal seperti ini, sepertinya aku tak bisa, aku merasa hatiku berada di turunan tajam. Semoga bukan kata perpisahan”. Budi yang memang seolah tahu hal-hal yang akan Arunika lakukan, menebak dengan tepat, bahwa entah terucap atau tidak, memanglah perpisahan yang Arunika rancang. Arunika tak menggubris pesan dari Budi, ia kembali menatap langit yang masih cukup terik.

Prameks telah tiba di Solo Balapan, orang-orang berbondong keluar dari gerbong kereta. Arunika menunggu gerbong agak sepi dan keluar dengan langkah yang mantap sembari menarik napas dalam-dalam, “Solo, aku tak pernah merasa sangat Jawa sebelumnya, hanya Solo yang membuat darah Jawa ku berdesir kencang, seperti kembali ke kampung halaman. Ada darah Jawa di dalam tubuhmu Arunika, kulit sawo matang mu takkan pernah bohong”, ujarnya pada diri sendiri. Arunika berjalan menyusuri peron, hingga menuju gerbang dan ia terpaku pada pertunjukkan musik Jawa dengan iringan gamelan. Terlantun lagu Stasiun Balapan-nya Didi Kempot, “Ning stasiun balapan… kuto Solo sing dadi kenangan, koe karo aku… Arunika lepas dari lamunannya, melanjutkan langkah kakinya, yang kemudian terhenti karena Budi tepat berada di depan matanya. Ya, Budi, dengan jaket denim dan kaos hitam yang tak asing bagi Arunika.

Mereka meninggalkan Solo Balapan, memutuskan untuk makan selat terlebih dahulu sebelum pergi ke Pasar Buku Loak. Pertama kali bagi Arunika, tak terkecuali Budi, memakan kudapan khas Solo yang sebenarnya juga hasil pengaruh dari hidangan Eropa, “mungkin saja ini salad, tapi lebih nasionalis” ujar Arunika. Budi terkekeh sembari menjejali mulutnya dengan kacang buncis dan wortel. Ya, tak ada sedikitpun darah Jawa pada raga Budi, makanya tak heran ia masih sangat tak bisa menerima rasa asing dari si selat, yang sebenarnya begitu juga pada Arunika. Arunika juga masih kembali merindukan kudapan khas Borneo, makanannya sejak kecil, makanan dari tempat kelahirannya. Mereka berbincang ringan, tentang kudapan yang tengah mereka santap juga tentang teman-teman mereka. Ketika mereka selesai makan, Arunika memberikan Bumi Manusia kepada Budi, buku yang harus kembali kepada pemiliknya. Budi hanya terdiam, tak mengucapkan apapun, Budi hanya berbicara tentang tempat yang akan mereka kunjungi setelah ini. Budi sepertinya enggan memulai pembicaraan serius, ia pun seolah mencegah Arunika menyebutkan kata-kata perpisahan.

Hari masih terik, tumpukan buku mulai terlihat, ditandai dengan Arunika yang berjalan kian cepat. Ia sudah tak sabar memulai pencariannya. Di toko buku yang pertama ia temui, ia mendapatkan Bumi Manusia yang sudah usang, selangit pula harganya. Arunika duduk sejenak, berbincang dengan pemilik toko buku. Sudah cukup sepuh, ia bercerita bahwa pendapatan kian berkurang, sebab minat membaca mulai punah, pun sudah banyak ditemui buku-buku digital. Arunika terdiam, bagaimana ia akan tega menawar harga buku, penjual buku loak sudah tercekik karena pengunjung kian hari kian sepi. Arunika melihat sekeliling, mencari Budi, ternyata Budi berada di toko yang agak jauh dari Arunika sembari memegang sebuah buku yang cukup usang. Arunika berpamitan dengan pemilik toko, dan berlari menuju Budi. Harga Babad Tanah Jawi yang Arunika cari sampai ke tanah Jawa memang seharga tiket ia pulang dan pergi ke Jawa, ya sudahlah toh itu titipan seorang Profesor di kampusnya hingga memberikan tugas pada seorang alumni komunitas. Mereka meminang buku tersebut, Arunika pun senang pencariannya berhasil. Meskipun, ia malah ingin membeli Tetralogi Pulau Buru di deretan toko loak tersebut, toko pertama sudah tak masuk akal harganya, ya memang benar, buku tersebut terbitan tahun dimana ibu Arunika pun belum tamat sekolah dasar. Mereka melanjutkan perjalanan dari toko ke toko, mencari yang ingin Arunika beli. Arunika tertegun ketika melihat Bumi Manusia yang memang bukan cetakan sepuh, tetapi ada bubuh tanda tangan Pram. Dijual dengan harga setengah juta. Budi melihat Arunika yang tertegun sembari memegangi buku tersebut, Budi beranjak dan ingin membayarnya. Tertapi, Arunika langsung memberi uang kepada si pemilik toko. Mereka pun memutuskan untuk berjalan-jalan saja, karena yakin tak lama Arunika akan tiba-tiba ingin meminang buku loak dengan harga yang cukup lumayan.

Arunika dan Budi melanjutkan perjalanan, Arunika teringat akan perjalanan yang tak terencana olehnya dengan Budi beberapa waktu silam. “Bud, kau masih menjadi manusia yang suka bertanya tentang pelangi apakah sama meski di belahan bumi berbeda?” tanya Arunika karena melihat sebuah buku Laskar Pelangi dengan warna yang sudah pudar dan usang. Budi tersenyum tipis, memandang Arunika dengan mantap. “Tidak, tak ada manusia yang patut mendengar aku menanyakan hal-hal bodoh, kecuali kau”. Arunika terdiam. Ia malah mengambil buku Laskar Pelangi tersebut, tak menawar harganya dan langsung membayar. “Arunika, aku selama ini jadi suka membaca puisi-puisi Hamka. Tentang cinta pada manusia yang juga tentang cinta paling suci yang diciptakan Allah. Hamka mengajariku banyak, lewat tulisan-tulisannya”, ujar Budi dengan raut yang sendu, entah sepatah apa hatinya hingga terasa pilu. “Apa kau pernah membaca Tenggelamnya Kapal Van der Wijck? Hamka mematahkan hatiku tiap membacanya, aku bisa merasakan pilunya Zainudin dan Hayati” tanya Arunika diiring geleng dari Budi yang menandakan bahwa ia belum pernah membaca buku tersebut. “Kau tunggu sebentar ya, Bud. Aku segera kembali”, ujar Arunika yang segera menghilang di tengah lorong-lorong toko buku.

Budi terduduk di depan warung yang menjual minuman dingin, ia menunggu Arunika disana. Terbersit di pikirannya, seandainya Bengawan Solo seperti Kapuas yang dapat diarungi speedboat. Ia pasti sudah mengajak Arunika menaikinya sembari melihat senja yang kian merosot meninggalkan langit Khatulistiwa, sepertinya itulah saat terindah untuk mengucapkan perpisahan, meskipun ia tahu yang namanya perpisahan tak ada sisi indahnya. Bagi Budi, perpisahan di toko loak seperti orang-orang yang sudah tak sanggup menyimpan buku lamanya, tetapi terlalu sayang untuk menjualnya dan dimiliki orang lain. Beda dengan Arunika yang malah semakin excited karena semakin banyak koleksi bukunya. Arunika datang dengan menjinjing kantong penuh buku, entah buku apa saja yang dibawanya. Ia hanya memamerkan dua buku dari semua buku yang menjejali kantong tersebut. “Bud, aku akhirnya mendapatkan Lembah Membara-nya Moerwanto. Buku yang sudah lama aku ingin koleksi, ya, buku ini begitu berkesan, aku membacanya pada saat aku kelas 1 SMP, meminjam dari perpustakaan, waktu itu aku belum mengenal Pram”, kisah Arunika dengan bersemangat. “Akhirnya pencarianmu menemukan titik temu, ya. Sudah sering aku mendengar kau berkeluh bahwa sulit mencari buku itu”, jawab Budi dengan perasaan senang, bukan karena buku, tetapi karena kesedihan yang pudar dari mata Arunika, kesedihan yang ia bawa sejak pertemuan di Solo Balapan tadi siang. “Dan ini, aku mendapatkan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck-nya Hamka. Untuk mu, Bud. Sebab, Hamka mematahkan hatiku tiap membacanya, ku harap hatimu juga patah hehe”, kekeh Arunika yang kemudian memalingkan diri dari Budi. Budi terdiam, kembali tak berkata-kata. Ia takut Arunika benar-benar mengucapkan kata perpisahan.

Waktu menunjukkan hampir pukul empat, Arunika bergegas karena ia akan membeli tiket kereta terakhir dari Solo untuk kembali ke Jogja. Budi mengikuti Arunika dari belakang sembari berkata “Aku yang akan mengantar mu ya? Hingga ke Solo Balapan”, tak mendapatkan jawaban dari Arunika, yang berarti persetujuan. Setibanya di Solo Balapan, tak sengaja Arunika kembali berhenti di depan gamelan yang tengah memecah keramaian dan suara bising. “Bud, boleh ku minta sesuatu? Hapus segalanya tentangku, termasuk pesan-pesanku. Apa aku boleh pinjam handphone mu?”, Arunika memandang Budi dengan sangat serius. Budi bertanya-tanya, mengapa hal tersebut harus terjadi, ia menolak, sembari berjanji akan menghapusnya sendiri. Arunika kembali berjalan, meninggalkan Budi, menoleh sekali dan melihat Budi melambaikan tangan, tak dibalasnya. Tanpa kata perpisahan, tanpa kata-kata apapun. Budi kembali mendengar lantunan lagu “Ning stasiun balapan… kuto Solo sing dadi kenangan, koe karo aku…” persis seperti yang ia dengar tadi siang sembari memandang Arunika yang tertegun, tetapi lagu itu terasa lebih pilu dari sebelumnya.

Arunika memesan tiket yang memang rezekinya sehingga ia tak perlu lama menunggu di luar dan bertemu Budi, ia menunggu di peron, dan tak lama menaiki keretanya. Kereta melaju meninggalkan Kota Solo. “Ya, mau digimanakan lagi, Bud. Toh jodoh kita hanya sampai berteman dekat, saling memahami dan menguatkan. Tidak lebih dari itu”, ujar Arunika sembari memandangi pelangi yang entah sejak kapan menghiasi langit Solo.


Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem