Langsung ke konten utama

Arunika : Bintang Jatuh

Bintang Jatuh

Bagaimana? Pertanyaan yang sering timbul di dalam angan dan pikiran, namun tak pernah terungkap sama sekali di bibir ini. Arunika sudah melangkah jauh sendirian, hanya diiringi angin yang entah membawa kabar dari mana saja, kecuali kabarnya. Bagaimana rasanya hidup tanpa mengetahui tujuan yang sebenar-benarnya? Bagaimana hidup di dalam bahagia yang tak sempurna? Disaat mencapai puncak tertinggi, jutaan selamat tidak utuh jika bukan selamat itu. Disaat mendarat di ngarai terdalam, jutaan semangat takkan membangkitkan jika bukan semangat itu. Bagaimana kabarnya? Budi.

Sudah terhitung, 6 tahun lamanya Arunika mengenal Budi. Selama itu pula ternyata, Arunika menyadari bahwa perasaannya pada Budi tidak menemukan kata punah. Budi tetap menjadi sosok yang hadir di kala Arunika terpuruk atau ketika Arunika berada di langit tertinggi. Tahun lalu, Arunika lepaskan Budi agar ia dapat mengepakkan sayapnya ke langit favoritnya, untuk bertemu senja atau bersua dengan bintang jatuh. Budi pun terbang, namun, dia kembali ke peraduannya, Arunika.

Waktu itu akhir Juli, bulan yang Arunika tunggu-tunggu berakhir juga. Arunika mengirimi Budi suatu tulisan yang sangat ia ingini di toko buku loak tahun lalu. Arunika sudah lelah, seringkali mengucapkan kata perpisahan yang tak kunjung berpisah jua. Tak lama kemudian, Budi dan Arunika bertemu di sebuah tempat asing yang setelah itu akan menjadi lokasi penuh kenangan lainnya yang telah Arunika tulis di tempelan dinding kamarnya.

Budi terlihat baik, dia lebih bugar dari sebelumnya, rambutnya kian panjang dengan tatapan mata yang sudah diduga belum berubah untuk Arunika. Budi masih mencintai Arunika. Hanya, kali ini dia lebih dewasa dalam menyikapi perasaan yang masih Tuhan simpan di dalam hatinya, entah kapan rasa itu hilang, Arunika berharap segera. Seperti yang sudah-sudah, mereka tak membicarakan perasaan masing-masing, karena orang buta huruf pun tetap dapat membacanya. Budi bercerita kehidupan dan harinya yang sudah mulai membaik. Arunika bergumam dalam hati sembari memaki siapapun yang menyakiti Budi hingga seperti itu dahulu, padahal orangnya ialah dirinya sendiri. Budi sedang berpetualang, menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak. Tahun ini, mereka bertemu sebagai versi lebih baik dari tahun sebelumnya. Meski dengan hati yang sama-sama tak baik.

“Bagaimana kesehatanmu, Bud?” tanya Arunika pada Budi. “Alhamdulillah sudah kunjung membaik, Arunika. Hanya masih ada sedikit pusing yang sering aku rasakan”. Memang benar, dia sudah  terlihat membaik, tetapi keluhan sakitnya masih sama. Arunika tak tahu bagaimana kedepannya hidup Budi, hanya, Arunika selalu berharap ia diberikan kesehatan dan selalu diiringi kebahagiaan. Budi menceritakan padanya tentang kekesalannya pada Arunika, yang sebenarnya Arunika ketahui hal itu sama sekali tak merubah perasaan yang ada di hatinya, malah terlihat seperti Budi menyampaikan kekesalan dengan mata yang berbinar. Ia selalu gagal membohongi Arunika, selalu.

Arunika tak tahu, mengapa waktu selalu bergerak dengan cepat ketika ia merasakan titik bahagia tertinggi dalam hidup. Arunika dan Budi berjalan di gertak kayu ulin. Entah mengapa untuk dua tahun ini mereka selalu berjalan di atas gertak kayu ulin. Apakah agar perasaan itu semakin kuat jika direndam oleh air seperti kayu ulin? Arunika sangat senang, ketika mereka berjalan beriringan dimana bahu mereka bersebelahan, dimana ada perasaan tak terungkapkan yang mengendap di dalam diri masing-masing dan kian kuat apabila terpendam, layaknya kayu ulin yang direndam oleh air. Arunika berjalan di sebelah Budi, sembari menarik ikat rambutnya, keinginan yang sudah terpendam sejak Arunika masih menjadi juniornya. “Kali ini, aku bisa menarik rambut seniorku!” ujar Arunika dengan sangat senang. Budi tak dapat melakukan perlawanan lebih. Itulah Budi, si baik hati yang sering merasa tak nyaman hati. Arunika meletakkan ikat rambut itu di pergelangan tangannya sembari melanjutkan cerita-cerita mereka. Saling berbagi kisah hingga waktu semakin membawa mereka larut di dalamnya.

Ketika Arunika menghitung langkah demi langkah perpisahan mereka, Arunika tak sengaja melihat ke langit Khatulistiwa yang gelap, tiba-tiba muncul belasan cahaya putih yang tepat melalui atas kepala mereka. Arunika tak siap mengabadikannya, Budi reflek membaca doa sembari menenangkan wanita yang tengah membeku di sebelahnya. Mereka sama-sama tak tahu apa yang terjadi. Arunika pun hanya sempat berharap di dalam hati, semoga ia selalu dilimpahi bahagia, tak sempat menyebut nama Budi dalam harapnya, walaupun Tuhan tahu bahagia Arunika juga termasuk Budi di dalamnya. Entah-entah kalau itu adalah bintang jatuh. Yang pasti, Arunika masih bertanya-tanya, mengapa Tuhan menemukan mereka dengan fenomena yang tak biasa saat mereka tengah bersama-sama? Bukankah hal itu malah nantinya akan menjadi kenangan yang sangat sulit untuk dibuang dari pikiran masing-masing? Tahun lalu mereka diberikan anugerah hujan di tengah danau, tahun ini hujan meteor. Ah, jangan-jangan Arunika dan Budi adalah makhluk luar angkasa yang sebenarnya hanya dititipkan di Bumi dan dirawat oleh penduduk Bumi? Banyak sekali keajaiban yang mengiring mereka berdua!

Sebelum berpisah, Arunika berniat mengembalikan ikat rambut Budi yang ia ambil paksa. Mengembalikan dengan cara mengikatkannya kembali ke rambut Budi. Budi hanya pasrah dan terdiam, walau sebelumnya sempat menolak berkali-kali. Arunika tahu, Budi pasti akan mengabulkan keinginan itu. Arunika memberikan pesan-pesannya sembari mengikat rambut hitam dan bergelombang itu. “Bud, baik-baik ya, jaga kesehatanmu, jangan sedih lagi. Aku mencintaimu, sungguh (kalimat akhir hanya disampaikan Arunika di dalam hatinya)”. Seolah Arunika mengembalikan hati Budi kepada pemiliknya untuk lebih kuat lagi sesudah pertemuan yang singkat itu. Mereka pun berpisah di persimpangan jalan. Berbeda dengan ketika perpisahan mereka di Kota Solo, kali itu Arunika menatap Budi dengan dalam-begitu juga dengan Budi yang menatap dalam Arunika. Mereka melambaikan tangan dan Arunika berlalu.

Jalan yang Arunika ambil ketika berpisah dari Budi sengaja dilambatkannya, sebab ia masih mau menangis dan menyendiri malam itu. Ya, Arunika masih Arunika yang lama. Masih sering menangis. Masih juga menangis apabila bertemu Budi, bedanya hari ini ia tidak menangis sembari menatap mata Budi. Arunika masih merasakan sesal yang dalam akan hal yang masih berulang di tahun ini, masih juga merindukan Budi dengan sangat dalam, juga masih berharap Budi akan mengantarnya pulang ke rumah seperti dahulu kala. Ia tak melihat lampu motor Budi dari spionnya. “Bud, ternyata sekarang feeling ku salah, ku fikir kau akan mengantarku, menemani ku di jalan sepi ini. Jalan yang sudah banyak terekam kenangan-kenangan kita. Dari saat pertama kali aku menangis di depanmu. Ada kemajuan ternyata, aku sudah tak akurat dalam membacamu”.

Arunika menangis sejadi-jadinya sembari ia melalui sungai yang menyatukan kota kelahirannya dan kota kelahiran Budi. Ia senang, akhirnya dapat meluapkan segala hal yang mengganjal selama satu tahun ini lewat tangisan. Bertemu dengan Budi memang membuatnya sering menangis, bukan hanya kesedihan yang ia alami sebab jalan kisahnya dengan Budi, tetapi juga tentang segala hal. Ia memandangi sungai itu, betapa dua tempat yang jauh dapat bermuara di satu jalur. Bukankah Tuhan Maha Hebat? Arunika kembali menangis dengan hebatnya, tak lama, ia melihat sorot lampu motor Budi yang ternyata masih mengikutinya dari belakang. Feeling Arunika tentang Budi masih sangat-sangat kuat. Sampai saat itu, belum berubah dan berkurang sama sekali. Feeling yang sama ketika 5 tahun lalu ia hampir saja tumbang sembari merasa bahwa Budi akan berlari kepadanya dan memang benar Budi berlari dari kejauhan menuju Arunika. Menggenggam tangan Arunika dengan erat dan menguatkannya. Tuhan Maha Hebat, hebat dalam menanamkan perasaan kepada anak manusia. Perasaan yang tak mengenal waktu, tak mengenal jarak dan tak mengenal aral lintang yang sangat sulit diterjang. Budi dan Arunika sedang menimbang-nimbang serta bertanya kapankah perasaan itu akan diambil oleh Si Pemilik Hati, atau bahkan bukannya diambil malah disimpan-Nya hingga akhir nanti. Entah, hanya Tuhan yang tahu.

Mereka kembali bercerita, sembari melewati jalan yang sering mereka lewati ketika tengah malam, dahulu kala. Melalui pojok lamongan tempat mereka makan tengah malam, lapak terang bulan tempat Arunika dan Budi dimarahi warga karena parkir motor tepat di jalan gang. Melalui Indomaret tempat Budi membeli roti isi kelapa yang waktu itu menjadi pengganjal laparnya ketika mengantar Arunika pulang ke rumah dengan motor lamanya. Bahkan mereka melalui Café Jogja tempat Budi mengakui perasaanya 3 tahun lalu. Memang benar, selain parfum, jalan juga memiliki kekuatan magis yang dapat mengingatkan kenangan yang telah berlalu.

Arunika memberanikan diri mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan di hatinya pada Budi. Bertanya bagaimana cara Budi melangsungkan hidup tanpa Arunika, hingga pertanyaan yang sebenarnya cukup menyakitkan baginya yaitu kapan Budi akan melupakannya. “Kau terlihat baik saja tanpa kabarku?” tanya Arunika. “Sok tahu. Kau juga bisa kan hidup tanpa aku dan hidupmu terlihat baik-baik saja!” timpal Budi. “Mana kau tahu penderitaanku selama satu tahun ini.” tambah Arunika sembari melihat ke arah Budi. Budi hanya terdiam, ya mereka ternyata sangat jago menyembunyikan kesakitan masing-masing. Walapun nantinya akan terlihat sendiri ketika mereka saling bertemu dan menatap.

“Bud, sampai kapan kita seperti ini? Mengulang kisah ini, pergi bersama, bertemu, saling cerita? Sampai kapan sih hal itu (perasaan) hilang?” tanya Arunika. “Saat aku sudah mati” Jawab Budi singkat. Arunika tertegun dan merasakan hal yang sangat menyakitkan. Budi tak pernah mengungkapkan rasa cintanya pada Arunika dengan gamblang, tetapi bukankah dengan kalimat itu sudah dapat terlihat jelas betapa dalam perasaan Budi dan betapa mereka saling membutuhkan. Arunika pun berkata bahwa ia masih sangat ragu untuk memulai suatu hubungan ke tahap lebih serius apabila perasaan Budi masih lekat padanya. Sebab, Arunika ialah orang yang egois. Bisa saja ketika ia tahu Budi sudah tak memiliki perasaan apa-apa, Arunika dapat melupakan Budi, karena keegoisannya. “Jadi aku harus menikah duluan, begitu? Supaya kau dapat melanjutkan hidup dan melupakan aku?” tanya Budi kepada Arunika dengan nada agak tinggi.

 

Perasaan... Perasaan ialah hal yang tak dapat kau salahkan. Tak dapat kau paksa dan kau minta untuk berhenti begitu saja. Mereka datang dengan sangat perlahan, kedatangan yang terkadang tak diketahui si pemilik. Perasaan ialah hal terjujur yang sering kita minta untuk diam dan mengalah. Megalah pada ego kita, mengalah pada logika dan pikiran. Perasaan ialah hal terlembut yang ada di dalam diri manusia. Ia dapat membuat hati yang sejuk menjadi hangat, juga sebaliknya. Malam itu, perasaan mereka sama-sama meringis. Sebab disalahkan oleh ego mereka, disalahkan atas ketidakberanian mereka mengambil keputusan dan langkah. Malam itu, perasaan mereka merasa sangat-sangat disalahkan.

Perpisahan mereka di penghujung Juli itu, tak ada Arunika yang memaksa meminjam handphone Budi untuk menghapus histori chat mereka atau menghapus potretnya di handphone itu. Sebab, Arunika sudah menyerah dengan metode menghilang dan saling menjauh. Hal itu menyakitkan dan malah tak berpengaruh apa-apa, karena toh buktinya mereka bertemu lagi dengan perasaan dan sakit yang sama, mereka saling berbagi dan bercerita kembali di hari itu, hari di akhir Juli dimana ada belasan bintang jatuh di langit mereka.


Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem