Langsung ke konten utama

Arunika : Janji yang Ditepati

Jumat pagi-menuju siang di tahun 2020, di tepi sungai dengan air yang melaju menuju hilirnya. Arunika telah merasakan lelah yang sangat, lelah yang ia rasakan dalam menghadapi perjalanan kehidupannya, sebuah fase menuju ujian kehidupan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Aliran sungai yang membawa banyak sekali keputusasaan orang-orang di hulu sana, membawa sisa-sisa kebahagiaan ataupun kenangan yang mengalir dengan sendirinya, di tepi aliran sungai itu pula Arunika terduduk di sebelah seorang yang tidak disangka masih menepati janjinya untuk menemani fase hidup Arunika. Namanya Budi, kau pasti sudah mengenalnya dengan sangat. Budi adalah seorang yang hidup di skenario kehidupan Arunika, mungkin juga hingga saat tulisan ini diterbitkan, Budi masih ada untuk Arunika, entah raga, pikiran, perasaan atau bahkan doa paling tulus.

Tepat satu minggu sebelum menuju fase tersebut, Arunika dengan terpaksa menghubungi Budi untuk meminta menemaninya, bukan karena Arunika tak menginginkan hal tersebut, tetapi karena Arunika memang sudah memutuskan untuk melangkah tanpa bantuan Budi sedikitpun, melangkah meski ia harus tertatih. Budi dengan senang hati mendatangi tempat tersebut, tempat yang jauh dari peradaban dan ternyata tempat penuh sejarah untuk Budi dan garis kehidupannya. Mereka selalu kembali berbincang seperti biasanya, menceritakan kisah masing-masing, dengan tak sengaja Budi menceritakan perjalanan hidupnya, bagaimana menemukan sesosok orang yang membuatnya ingin melanjutkan ke langkah yang lebih serius, mematahkan hati Arunika dengan bercerita bahwa orang tersebut juga sudah mendapatkan lampu hijau dari ayahnya. Meskipun, Arunika selalu dapat membaca Budi dengan sangat baik, ia tahu langkah yang diambil Budi merupakan sebab-akibat dari langkah yang juga ditentukan Arunika, yaitu melangkah jauh dari seorang Budi dengan memberanikan memilih sebuah pilihan berat dan mundur dari segala penantian maupun perjuangan yang ia persembahkan untuk Budi beberapa tahun ini.

Sekeliling mereka pun tahu bahwa mereka sedang membincangkan suatu hal yang sangat serius, sehingga tak ada satupun yang berani mengganggu apa yang mereka perbincangkan. Toh, orang-orang itu juga sadar, kehadiran Budi bukan hanya sekadar membantu, tetapi menepati satu dari banyaknya janji yang telah ia ucapkan di hadapan Arunika. Setelah perbincangan itu, Arunika dan Budi memutuskan untuk berdiskusi di suatu tempat yang agak jauh dari base camp. Tempat itu tepat di tepian sungai yang mengalir menuju hilirnya, tempat yang sangat teduh terbuat dari kayu yang mengapung serta terayun mengikuti lambat air yang mengalir. Tempat sejuk itu pula lah, Arunika dan Budi kembali mengucapkan janji baru yang ternyata agak sukar untuk diwujudkan dikemudian hari. Arunika yang hampir saja berhasil membawa Budi ke tujuan yang sempat ia pikirkan dengan matang bertahun sebelumnya itu, kembali gagal menepatinya, hingga…

Di tempat yang sama, 2 tahun berselang, Budi telah melalangbuana di bumi hijau, menjadi sosok yang bermanfaat bagi banyak orang. Ia melalui kehidupan yang cukup berat namun masih sanggup ia hadapi. Ia masih mengingat janjinya pada Arunika saat itu, ia pun mencoba melunasinya, melunasi sesuatu yang bisa saja akan menjadi akhir pertemuan mereka dan janji-janji lainnya. Arunika akan menuju fase berat yang baru, jauh lebih berat dari fase sebelumnya 2 tahun lalu. Arunika akan melepaskan belenggu dan bungkus kepompong serta mengubah dirinya menjadi kupu-kupu yang dapat terbang jauh dari sangkar yang sebelumnya membuat ia hanya menjadi seorang gadis kecil bagi orang banyak. Bedanya, saat ini sudah tak ada lagi Budi untuk Arunika. Budi telah menjalani hidup yang jauh lebih mandiri, berkisah pada orang lain, menyembuhkan dirinya sendiri, melalui banyak hari yang tak diketahui Arunika. Namun, Arunika harus dapat menerima itu, menerima bahwa tanaman yang ia tanam sudah menemukan media tanam yang baru yang dapat membuatnya kembali tumbuh setelah lama layu. Mencintai bukannya juga berarti keikhlasan?

Pertemuan mereka demi menepati janji itu akhirnya dapat telaksana, Arunika banyak memilih diam ketimbang berbicara, ia kembali besedih memandang Budi yang kian kurus, bahagia dan cerianya dimakan oleh kesakitan yang ada di dalam dirinya. Budi tak mengeluh sedikitpun, tetapi Arunika tahu bahwa ia tengah menahan lelah dan sakitnya. Sakit yang telah lama ingin Arunika bantu untuk menyembuhkannya, Arunika bukanlah dokter manusia, bukan pula psikolog atau psikiater, tetapi ia tahu ada bagian dari dirinya yang dapat membantu Budi untuk berperang dengan penyakit yang ada di dalam tubuhnya. Penyakit yang Arunika tahu bisa saja suatu waktu membuatnya terkaget saat bangun dari tidurnya dan menerima sebuah berita bahwa Budi telah pergi ke tempat yang jauh lebih indah. Arunika tak mau hal itu terjadi dan ia menerima kenyataan bahwa ia tak banyak menemani Budi pada saat itu, Arunika berani saja mengambil atau memberikan seluruh dunia yang sudah ia susun rapih demi menemani Budi. Tetapi, ia kembali menatap pria itu, pria yang telah memotong habis rambut panjangnya, ia juga tak berani merebut Arunika dari tatanan dunia yang sebenarnya telah berada di porosnya, ia tak berani merusak tatanan yang sudah berotasi dengan baik.

Mereka melalui lajur yang cukup panjang, menaiki anak tangga yang tak terkira, Budi terlihat sangat bersemangat tanpa mengeluh walaupun ia terlihat capek. Budi sesekali bersenda gurau bersama Arunika. Mereka tak membincangkan perasaan sama sekali, hanya membincangkan kisah hidup yang cukup menantang. Bukankah teman hidup tidak sebatas hanya pasangan? Bisa juga seorang yang dapat mendengarmu dengan baik, dapat membuatmu lebih tenang dan senang meskipun tidak tercipta untuk bersanding denganmu dan memenuhi hari-harimu? Sekali lagi Arunika bertanya sembari mengikuti langkah Budi yang agak tertatih, apakah itu kau Bud, yang orang-orang bilang adalah soulmate, dan bukankah tak selamanya soulmate dapat menjadi pasangan hidup?

Janji yang akhirnya tertepati itu, membuat Arunika sadar, betapa hal yang terucap di dalam hati bisa saja bergema di langit dan di bumi, didengar oleh penulis skenario paling hebat di jagad raya, lalu terwujud, meski bukan saat itu juga, bisa saja setahun, dua tahun atau bahkan bertahun-tahun setelahnya. Arunika bersyukur bahwa Tuhan masih menitipkan perasaan yang ia tak tahu kapan akhir dan ujungnya, ternyata jalan terbaik bukan melupakan, bukan menjauh atau bakan saling menyakiti, tetapi mencoba perlahan merelakan, dengan cara paling lembut, cara paling bijaksana yaitu melaluinya perlahan-lahan lalu mentransformasikan perasaan itu menjadi perasaan yang wajar dan tak terlarang.

Bulan telah berlalu, segala huru-hara yang menghantui hari-hari Arunika mulai mereda, ia hanya tinggal melalui beberapa tanjakan berat yang sebetulnya ia masih butuh Budi untuk menemaninya. Suatu malam yang dingin ia duduk di depan teras rumahnya, sebuah motor dengan lampu berwarna kuning tiba-tiba berbelok ke halaman rumahnya. Arunika sempat ingin mengambil langkah seribu, takut-takut itu adalah tamu orang tuanya, sedetik kemudian ia sadar, itu adalah Budi, ya, Budi yang telah ia kenal lebih dari 6 tahun lamanya. Budi yang belum berubah hingga detik ini. Budi datang, setelah mendengar Arunika memintanya untuk didengarkan dan menjadi orang yang menyempatkan waktu. Arunika tak bercerita tentang hidupnya, tentang huru-hara yang sebenarnya jauh lebih berat, tetapi Arunika mengungkapkan betapa rindunya ia dengan Budi, betapa marahnya ia dengan seorang yang memberikan semangat dan ambisi di pundak Arunika, tetapi setelah Arunika menuju puncak dari semua itu, sang pemberi tak menemani Arunika lagi, ia pergi, ia mundur, ia memudar dan sedikit demi sedikit menghilang. Apakah ini adalah saat yang tepat bagi Arunika untuk mereset kehidupannya, melepaskan Budi yang selama ini sebenarnya masih menjadi sumber bahagia dan kesedihan di waktu yang bersamaan? Tetapi, bagaimana cara mereset kehidupan itu dengan baik dan benar serta dengan penuh agar tak ada lagi sakit yang perlu dirasakannya?

Budi berkata ia ingin bahagia di tahun yang baru, memutuskan untuk menemukan orang baru dan menjalin hubungan yang sangat serius, ia juga ingin fokus menyembuhkan dirinya dan sakitnya karena tak mungkin memutuskan untuk menjalin hubungan dengan orang lain tetapi dengan fisik yang masih sakit dan hati yang masih luluh lantak. Arunika pun sudah tak menemukan keberanian di dalam hati Budi lagi, tak menemukan sedikitpun ungkapan perasaan Budi tentang siapa sebenarnya Arunika saat ini. Toh, mengapa mencari jawaban itu? Jika sebetulnya memang sudah tak perlu dibicarakan dan diungkit lagi.

Arunika masih tak menerima kenyataan bahwa Budi yang selalu ada untuknya ternyata sudah menemukan tempat baru untuk bercerita dan menyandarkan lelahnya, padahal Arunika yang menyuruhnya untuk menemukan tempat cerita dan berbagi selain dirinya. Arunika masih juga tak menerima bahwa Budi pergi untuk mengobati sakitnya tanpa Arunika, padahal ia juga yang meminta Budi untuk segera berobat. Ia selalu menampik hal-hal yang sebetulnya ia sendiri yang meminta Budi untuk melakukannya. Arunika bukannya tak ingin terbaik untuk Budi, ia hanya tak ingin Budi melalui hari-hari tanpanya, bercerita hal-hal terdalamnya pada orang lain, bahkan melakukan hal-hal untuk pertama kali bersama orang selain Arunika. Malam itu, Budi menangisi nasib hidupnya, Arunika menangisi perasaanya pada Budi yang tak kunjung menemukan kata usai meskipun sudah tak ada secuil pun jalan untuk mereka bersama. Budi, disatu sisi sangat beruntung memiliki seseorang yang mencintainya dengan sangat, disisi lain sangat malang sebab ia tak dapat menggapai anugerah terindah yang diberikan Tuhan untuknya, ia harus berjuang sendiri dengan sakitnya hingga titik paling tak mampu ia lalui. Malang untuk keduanya, semoga kekuatan cinta dapat membuat mereka kuat meskipun tidak dapat saling memeluk, saling mendengar dan saling mencintai dengan terang-terangan.

Budi dan Arunika beranjak dari teras Arunika yang teduh di siang hari dan sejuk di malam hari itu. Mereka menutup cerita sedih yang selalu berulang setiap tahunnya, Arunika mengantar Budi ke motornya melalui pohon mangga kesayangan Arunika sembari memandang Budi yang membelakanginya. Budi memandang Arunika, mengucapkan kata perpisahan dan berlalu menggunakan motornya. Arunika kembali menjadi ruang kosong yang hampa, memiliki tujuan namun kehilangan satu titik tenang dan senangnya. Budi kembali ke dunianya, Arunika kembali menyusun dunia baru tanpa Budi lagi dan lagi, hingga ada satu hari mereka dipertemukan dan mengulang lagi kisah sedih itu. Jika kisah tentang Arunika dan Budi muncul di berandamu lagi, maknanya mereka masih bersua dan perasaan itu masih hadir serta belum menemukan titik nadir.

Seperti biasanya, Arunika tak lupa meletakkan secaring kertas di saku jaket Budi yang tertuliskan :

Bud, bukankah tidak penting hal-hal pertama itu? Misalnya pelukan pertama, ciuman pertama, atau bahkan orang pertama yang kau bawa menggunakan motor impianmu? Aku sudah muak memikirkan hal-hal pertama yang kau capai tanpa aku di sampingmu, atau hal pertama yang tak kau lakukan denganku, apakah semua ini ialah obsesi serta ambisiku yang sangat berlebihan atas sosok manusia yang nomaden sepertimu? Bukankah sudah sejak bertahun-tahun lalu aku tawarkan rumah untuk kau tempati hingga kau mati, namun tak kau indahkan kesempatan yang tak kuulangi kedua kali itu?

Aku berdoa disepanjang langkah kita tadi, Ya Tuhan, jika manusia yang tengah berjalan di depan ku ini adalah orang yang Engkau ciptakan untuk bersamaku, sejak dari detik pertama kami saling tatap bertahun lalu, sampai detik ini perasaanku sama sekali tak pernah berubah untuknya, bahkan kian menguat. Pertemukan kami dengan versi terbaik dan dengan cara terhormat. Jika bukan, berikanlah keikhlasan luar biasa agar aku dapat melihat dia bahagia dengan orang lain di luar sana. Berikan juga keihklasan di hatinya dengan melihat aku bersama orang selain dia.


Aku teringat kalimat Hamka dalam Bukunya :

Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.

Bud, bisa saja aku adalah tanah subur yang dapat menumbuhkan mu hingga tinggi dengan akar-akar yang kokoh hingga membuatmu berbuah besar dan manis. Tetapi, jika memang aku bukanlah tanah subur itu, biarkan aku tetap menyimpan akarmu sebagai pengingat bahwa pernah tumbuh sebuah pohon rindang disana yang dengan kuat mengakar pada tanah yang malang itu, tanah yang tetap mencintai pohon rindang yang kini telah tercabut paksa darinya. Bisa saja aku bukanlah tanah subur, tapi akupun dapat menjadi tanah untuk kau menyerahkan seluruh ragamu terkubur hingga akhir dunia, hingga kau dan aku melebur jadi satu.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem