Langsung ke konten utama

Library Exploration


“The New Yorker”
Edition : July 11 & 18, 2016

Resume :

COMMENT
TRUMP VS “TRUMP”

The presumptive presidential nominee of the Republican Party – let’s call him Donald Trump, though “Donal Trump” is more like it – has a way with words, after a fashion. The mouth moves and stuff come out. Except when he reads from a teleprompter, the words paradoxcially seem both calculated and careless.
Throughout the primaries, Trump rallies routinely featured his boats about the most recent polling results. In the absence of plausible policy specifics, a coherent philosophy, a regrad for nuance, or an anknowledgement of the exigencies of governance, this ritual seemed an end in itself. From there, he would ramble on about China, winning, losing, Islamic terror, Muslims, Mexicans, bigness.
No one disputes that Trump is not a politican; he is a visionary salesman whole ingenious project, was to brand and plaster himself everywhere. He started with the family buisness – real estate – and then expanded to casions.
After running even with Hillary Clinton or slightly ahead of her in polls published in mid-May, Trump has seen his numbers deteriorate with every demographic, freed from the distraction of the primary-season horse race, are doing Trump’s scrutinizing for him.
Actually, for Trump it is all a game, one in which, though this seems an odd way to characterize it, he has outsmarted himself fatally. He famously sleep only four hours a night – sufficient, no assumes, to squeeze in a recurning nightmare of November 9th headline screaming “LOSER!!” vast evidence suggest that such a scenario is what he has dreaded most thoughout his life. At some point, it will hit his followers that they’ve been sold out by a huckster who coveted their votes only for the sake of his colossal self-regard. And that, all along, he had nothing real to offer.

1. Syntactically = berhubungan dengan tata cara penulisan
2. Acknowledgement = pengakuan
3. Exigencies = keadaan darurat
4. Disgusting = menjijikan
5. Waving  = melambai
6. Pursue = mengejar
7. Myriadschemes = banyak sekali
8. Epitomized = melambangkan, merupakan contoh
9. Intimacies = kekariban, kerukunan, keintiman
10. Slightly = sedikit
11. Deteriorate = memburuk
12. Scrutinizing = memeriksa dengan penuh ketelitian
13. Charity = amal, derma, kemurahan hati
14. Dubious = yang meragukan
15. Circumstance = keadaan
16. Demagoguery = penghasutan rakyat
17. Commensurate = setaraf, sepadan
18. Gratuitously = tanpa alasan
19. Swing = ayunan, buaian
20. Inclination = kecenderungan, kecondongan, kesudian
21. Overwhelmingly = berlimpahan
22. Squeeze = tekanan
23. Huckster = penjaja, pedagang keliling
24. Coveted = iri hati


Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem