Langsung ke konten utama

It’s my last meal on earth – what I choose?


Food, food for everyone is something that is very important. Because food is the main source for man to meet nutrient intake and is the source of energy for daily activities. And for me food is the only drug my ulcer disease. When I don't eat in 6 hours, I would feel a pain in my stomach. 
If I had to choose a last meal I ate on earth, I'll choose eating "Chicken Pnyet and Snow Ice". 




The food that I would choose is “Ayam Penyet” and its complement. Why I choose this food, because I really liked the chicken in fried and grilled. I am also very fond of vegetables, like basil leaves, cucumber, cauliflower. Most people don't like vegetables because they reasoned that vegetables taste is awful because of the unripe. But it's a great one, vegetables that are eaten raw has much vitamin that does not disappear like vegetables in a stir-fry or stew.
I chose the “Ayam Penyet” with rice because for me the rice is a staple food that is highly obliged to me. When I've been satiated eating noodles or cakes, I will feel that I have not eaten since I haven't eat rice. Rice is also one of my amplifier when my stomach was being protested.
Every “Ayam Penyet” always there chill sauce. Yes, for me a Malay woman. Nice food though will not taste good without the name "chili sauce". Although I was exposed to the stomach, I still often chilli though not consuming as much as it used to be. And “Sambal Ayam Penyet” is my favorite  at home eating "Ayam Penyet Bu Nina". Either because the name of the owner of a “Ayam Penyet” like my little name "Nina" or because of what, but I feel the most delicious "Sambal Ayam Penyet" comes from there,
In addition, I would choose snow ice. I was very fond of ice. Snow and ice will be my cover when I finish eating spicy like “Ayam Penyet”. And don’t forget, if you want to eat you must to prayer.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem