Langsung ke konten utama

My top recommendations for things to do in my town

The city of Pontianak, the city of my birth place. My father's birthplace, and until recently the city of Pontianak being the city where I live. The city is a city that is very hot, though this city very hot i still stayed in this city. Not only my fate to settle here, but the history of the city is Also the reason I Became a happy and proud to be a part of this city.
I would recommend to you the famous places and historic in this city. And if you have not been to this place means you guys have yet to Officially set foot in the city of Pontianak.

1. Kadriah Palace & The Mosque Jami Sultan Abdurrahman


Kadriah Palace is a Palace of the Sultanate Kadriah i.e. a Malay Sultanate founded in 1771 ad, by a king named Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. The Palace is located adjacent to the mosque Jami' Sultan Abdurrahman. Kadriah palace and Mosque Jami' Sultan Abdurrahman was built at the same time, namely on 23 October 1771 which is now celebrated as the Day of the city of Pontianak. Two historic place is located in Kampung Dalam Bugis, Kota Pontianak.

2. The Tomb Of Batulayang

The Tomb of Batulayang is the tomb of the King of the Sultanate Kadriah and no doubt the last resting place of the first Sultan of the Sultanate Kadriah, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Empress and his Descendants. The tomb of batulayang situated at the edge of the Kapuas River, in the past this graveyard can only be Reached by boat via the river. Now the mausoleum can be visited through the road land on the side of the road to Jungkat, about 200 meters from the highway. In the area of the tomb of Batulayang, there is a pile of stones. The mausoleum of Sultan Syarif Abdurrahman made of wood two-storey. Carved with spiral motifs of plants are always covered with light colored netting. The mausoleum of Sultan already aged nearly 200 years it has many improvements and changes. Beside there is the tomb of his wife Putri Utin Chandramidi who Died in 1246 H or 1830 M.

3. Equator Monument

Equator Monument located on, North of Pontianak, West Kalimantan. The monument is located 3 km from the city center. This monument frequently visited by local and international tourists. On 21-23 March and September 21 to 23, the monument will be crowded by booths of food typical of West Kalimantan until the souvenirs in West Kalimantan, it is not without reason but rather on that date is after the culmination point of the event. During the hours of 12:00 pm EST, if we are at the point 0 IS0, then the shadows we will not be visible. This was Also very interesting the arrival of foreign tourists. This year, the monument Monument are under construction, planned to be built Water Park in order to Attract more local and foreign tourists.
This Recommendations is mandatory on the visit if you are in the city of Pontianak. The advanced country is a country that remembers its history, therefore for us the citizens of Pontianak to always remember how the history of the city is built and the struggles of the founders of the city of Pontianak. Keep historic places that exist in the city, never allow the hands of ignorant damaging wealth of history in the city of Pontianak. Greetings from my native city of Pontianak. AWAK DATANG, KAMEK SAMBOT.

Komentar

Baca juga, yuk!

Arunika : Budi, Seorang yang di Etalase

        Sore itu langit sedang indah-indahnya. Mimpi Arunika masih sama, namun ternyata jalan menuju mimpi tersebut tidak hanya berbau hal-hal akademik, organisasi, dan keluarga. Ia duduk di tepi sungai tempat biasa melihat senja, hari itu ia merenung dengan diri sendiri. Tanpa si Jingga sahabat karibnya yang sangat suka mengejar senja. Arunika sebetulnya sangat menyukai senja, memotret bahkan menulis tentangnya. Namun, bagaikan seorang yang sedang kekenyangan, kali itu ia hanya memadang senja dengan sebuah kesedihan, karena tak mampu melahapnya. Tak lama datang seorang pria berambut ikal sepinggang dengan kumis tipis dan tatapan tajam, Budi namanya.         Jauh sebelum ia duduk di tepi sungai dan melihat senja, Arunika sudah mengenal seorang Budi. Budi adalah aktivis HAM di kotanya, mereka saling kenal karena Komunitas Penggores Pena (KPP) tempat Arunika menyerahkan pemikiran dan rumah ketiga bagi Budi selain rumahnya dan sekretariat di kampus. Budi merupakan mahasiswa Fakultas

Legowo

              Hari ini aku mematahkan pensil kesayanganku yang menjadi teman ketika aku membaca buku, ia yang menandai kalimat-kalimat manis ataupun penuh makna di dalam buku-buku yang pernah ku baca. Sejauh perjalananku, tak pernah aku ingin menggantikan pensil itu, meskipun sudah terlihat usang dan rapuh. Jangankan untuk menggantikannya, berfikir akan hal itupun aku tak pernah. Lalu, entah kapan aku mengenal kata “ Legowo ” dan berfikir aku sudah pada tahap itu atas pensil patahku. Apakah aku sudah benar-benar legowo ?             Iseng saja, aku mencari arti legowo di google, hanya untuk memperkaya pemahamanku tentang kata itu. Aku juga mencari kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ku temui adalah legowo merupakan kalimat tidak baku dari legawa yang berarti dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela.             Perihal legowo , aku juga bertanya pada beberapa kawan yang berdarah Jawa maupun bukan, tentang pemahaman mer

RAIH (Kisah Tentang Ia yang Disampahkan)

Kali ini adalah langkah terberat untuk Arunika ketika ia harus memilih mundur atau bertahan. Senja masih menyinari senyumannya sore itu, namun untuk kesekian kali senja tak akan bisa mengiringinya dalam melangkah. Menempa diri tanpa stamina penempa, bagaikan sebuah kertas kosong yang tak ada arah, terbang berlalu tanpa sebuah rumah. Dengan berat hati, namun diiringi keberanian dan tekad. Ia memasukkan sebuah catatan panjang tentang kedewasaan yang pernah ia curi dari rumahnya. Terik mentari memang selalu menjadi sebuah keseharian, namun kali itu ia juga tak mengingat sama sekali ada seorang yang akan mengisi hari sepinya. Terlampau jauh dari masalah percintaan, masalah hidupnya jauh lebih pelik. Maka dari itu, ia memilih membutakan mata dan hatinya hari itu. Memungut sisa-sisa kesetiakawanan, berat namun sangat mengagumkan. Tugas akhir yang kian membunuh dirinya, namun malah ia diasingkan dari dunia hanya karena ia memilih berkutat dalam diam. Hidup memang sebuah pilihan. Mem